BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadia,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara. (UURI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional)
Selama
ada kehidupan, selama iti perlu adanya pendidikan di dunia. Pendidikan di dunia
telah terjadi sejak zaman purba. Dengan kata lain, pendidikan di Indonesia
telah dilaksanakan sejak sebelum kemerdekaan hingga sekarang. Kondisi
pendidikan di setiap Negara berubah-ubah tergantung masa atau zamannya,
termasuk di Indonesia. Kondisi pendidikan di Indonesia terus berkembang dari
waktu ke waktu. Perkembangan pendidikan dipengaruhi banyak hal. Dalam
pelaksanaan pendidikan, tentunya muncul berbagai permasalahan, baik masalah
sederhana hingga masalah yang serius.
Masalah
yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya
mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun
informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang
menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan
untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Berbagai
upaya perlu dilakukan oleh pemerintah bersama dengan masyarakat untuk mengatasi
segala kemungkinan masalah yang muncul dalam pendidikan di Indonesia.
Pemerintah memerlukan dukungan dari masyarakat untuk mengembangkan pendidikan.
Dengan partisipasi masyarakat, permasalahan dalam pendidikan akan mudah dicari
solusinya.
B. Rumusan Masalah
Adapun
yang menjadi rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kondisi
pendidikan pada zaman dahulu?
2. Bagaimana kondisi
pendidikan di Indonesia pada masa sekarang?
3. Bagaimana evolusi
pendidikan guru?
4. Bagaimana permasalahan
pendidikan di Indonesia?
5. Bagaimana solusi
Permasalahan pendidikan.
C. Tujuan
Berdasarkan
latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Mengetahui kondisi
pendidikan pada zaman dahulu.
2. Mengetahui kondisi
pendidikan di Indonesia pada masa sekarang.
3. Mengatahui permasalahan
pendidikan di Indonesia.
4. Mengetahui evolusi
pendidikan guru di Indonesia.
5. Mengetaui berbagai slousi
yang dapat dilakukan untuk menghadapi permasalahan pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Pada Zaman
Dahulu
1. Pendidikan Sebelum
Kemerdekaan
a. Zaman Purba
Kebudayaan
yang berkembang pada penduduk asli disebut Paleolitis (kebudayaan lama/tua),
sedangkan kebudayaan moyang bangsa Indonesia disebut neolitis (kebudayaan baru)
yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Tata masyarakatnya bersifat
egaliter, tidak ada stratifikasi yang jelas. Masyarakatnya dipimpin oleh pemuka
adat.
Tujuan
pendidikan saat itu adalah agar generasi muda dapat mencari nafkah, membela
diri dan hidup bermasyarakat. Belum ada pendidikan formal, maka kurikulum
pendidikannya meliputi pengetahuan, sikap, dan ketrampilan mengenai agama.
b. Zaman Kerajaan Hindu-Budha
Stratifikasi
sudah nampak jelas, antara yang dijamin(raja dan pegawai-pegawainya) dan yang
menjamin (rakyat). Berkembanglah feodalisme di dalam masyarakat dengan
diketemukan tulisan tertua (tulisan huruf Palawa bahasa sansekerta) oleh para
ilmuwan sejarah di dekat Bogor dan Kutai.
Pada
jaman kerajaan Tarumanegara, Kutai telah berkembang pendidikan informal berbentuk
Perguruan dan Pesantren. Sebagai pendidik ( guru dan pendhita) adalah kaum
Brahmana yang kemudian guru menggantikan kedudukannya para Brahmana. Implikasi
dari feodalisme pendidikan bersifat aristokratis artinya masih terbatas hanya
untuk minoritas yaitu anak-anak kasta Brahmana dan Ksatria, belum menjangkau
mayoritas dari anak-anak kasta Waisya dan Syudra.
Tujuan
pendidikan umumnya agar menjadi penganut agama yang taat, mampu hidup
bermasyarakat, mampu membela diri, dan membela negara. Darmapala sangat
terkenal sebagai guru Budha yang dimungkinkan candi Borobudur, candi mendut
merupakan pusat-pusat pendidikan agama Budha yang menghasilkan karya sastra
yang bermutu tinggi oleh para empu (pujangga) seperti : Kitab Pararaton (Empu
Kanwa), Negara Kertagama ( Empu Sedah dan Empu Panuluh), Arjuna Wiwaha dan
Barathayuda ( Empu Prapanca)
c. Zaman Kerajaan Islam
Pada
abad 14 melalui saudagar yang beragama Islam masuk dan menyebarkan agama Islam
di pulau Jawa dengan jasa wali songo, akhirnya berdirilah kerajaan Islam. Pada
umumnya tujuan pendidikan untuk menghasilakan manusia yang bertakwa kepada
Allah SWT. Pendidikan berlangsung dalam keluarga dan lambaga-lembaga pendidikan
seperti langgar-langgar, masjid, dan pesantren.
d. Zaman Pengaruh Portugis dan
Spanyol
Bangsa
Portugis dan bangsa Spanyol datang untuk berdagang dan sebagai missionaris
(penyebar agama katholik). Mereka mendirikan sekolah yang kurikulumnya berisi
pendidikan agama katholik ditambah mata pelajaran membaca, menulis dan
berhitung.
e. Zaman kolonial Belanda
Pada
jaman kolonial Balanda karakteristik kondisi sosial budaya yaitu:
1) Berlangsung penjajahan
kolonialisme
2) Monopoli hasil pertanian
3) Stratifikasi sosial
Namun
dengan semakin sadarnya bangsa Indonesia akan makna nasional dan kemerdekaan
lahirlah berbagai pergerakan dalam jalur politik dan pendidikan. Kondisi
pendidikan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pendidikan yang dilaksanakan oleh
pemerintah kolonial belanda sesuai kepentingan penjajahan dan pendidikan yang
dilaksanakan oleh kaum pergerakan sebagai sarana perjuangan demi mencapai
kemerdekaan. Ciri-ciri pendidikan zaman itu adalah minimnya partisipasi bagi
rakyat hanya untuk bangsa belanda dan putera golongan priayi, pendidikan
bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan.
Pendidikan
kaum pergerakan sebagai sarana perjuangan kemerdekaan, antara lain :
1) Tahun 1908 Budi utomo
menjelaskan bahwa tujuan perkumpulan adalah untuk kemajuan yang selaras buat
negeri dan bangsa. Dalam bidang pendidikan mendirikan Sekolah Sentral di Solo
dan Yogyakarta yaitu Kweekschool.
2) Tahun 1912 K.H. Ahmad
Dahlan mendirikan Muhammadiyah
3) Tahun 1915 didirikan
Trikora Dharmo, dan selanjutnya berdiri berbagai perkumpulan pemuda hingga terwujudnya
sumpah pemuda 1928.
4) Tahun 1922 Ki Hajar
Dewantara mendirikan Perguruan Tamansiswa.
5) Tahun 1926 Muhamad Safei
mendirikan INS (Indonesisch Nederland School)
6) Dll.
Dari
sini pergerakan nasional melahirkan kesadaran mengenai pentingnya peranan
pendidikan nasional dalam mempersiapkan kelahiran negara nasional. Ciri
pendidikan nasional :
1) Bersifat nasionalistik dan
sangat anti kolonialis
2) Berdiri sendiri atau
percaya kepada kemampuan sendiri
3) Pengakuan kepada eksistensi
perguruan swasta sebagai perwujudan harga diri yang tinggi dan kebhinekaan
masyarakat Indonesia.
f. Zaman Kedudukan Jepang
Bangsa
Indonesia berada pada kekuasaan pendudukan militerisme, implikasinya dalam
bidang pendidikan di Indonesia sebagai berikut :
1) Tujuan dan isi pendidikan
diarahkan demi kepentingan perang Asia Timur Raya
2) Hilangnya sistem dualisme
dalam pendidikan. Terdapat jenjang sekolah : Sekolah Rakyat, Sekolah Menengah,
Sekolah Menengah Tinggi, dan Perguruan Tinggi.
3) Sistem pendidikan menjadi
lebih merakyat.
2. Pendidikan Sesudah
Kemerdekaan
a. Kondisi Pendidikan Periode
1945 – 1969
1) Zaman Revolusi Fisik
Kemerdekaan
Jenjang
pendidikan disempurnakan menjadi SMTP dan SMTA dan mulai mempersiapkan sistem
pendidikan nasional sesuai dengan amanat UUD 1945. Menteri pendidikan,
pengajaran dan kebudayaan mengintruksikan agar membuang sistem pendidikan
kolonial dan mengutamakan patriotisme. Rancangan UU yang dihasilkan : UURI no.
4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah.
2) Peletakan Dasar Pendidikan
Nasional
Mulai
tanggal 18 Agustus 1945, sejak PPKI menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi
negara yang didalamnya memuat pancasila, implikasinya bahwa sejak saat itu
dasar sistem pendidikan nasional kita adalah Pancasila dan UUD 1945.
3) Demokrasi Pendidikan
Sesuai
amanat UUD 1945 dan UURI No. 4 tahun 1950 pemerintah mengusahakan
terselenggaranya pendidikan yang bersifat demokratis yaitu kewajiban belajar
sekolah bagi anak-anak yang berumur 8 tahun.
4) Lahirnya LPTK pada Tingkat
Universiter
Dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan mendorong Prof. Moh. Yamin mendirikan
Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Atas dasar konferensi antar FKIP
negeri seluruh Indonesia maka lembaga pendidikan tenaga guru ( PGSLP, Kursus
BI, BII, dan PTPG) diintegrasikan dalam FKIP pada Universitas. Kemudian
didirkan IKIP yang berdiri sendiri sebagai pindahan dari PTPG sesuai dengan UU
PT No. 22 tahun 1961.
5) Lahirnya Perguruan Tinggi
Pada
tanggal 4 Desember 1961 lahir UU no. 22 tentang perguruan tinggi dengan prinsip
Tridharma Perguruan Tinggi.
b. Kondisi Pendidikan Pada
PJP I : 1969 – 1993
Selama
kurun waktu pelita I-V, pendidikan Indonesia mengalami banyak bahan dan
kemajuan, semakin mantapnya sistem pendidikan nasional dengan disahkannya
Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta
sejumlah Peraturan Pemerintah yang menyertainya.
1) UU tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Sebagai
penjabaran Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
disahkan 8 Peraturan Pemerintah (PP) yaitu :
a) PP No. 27/1990 tentang
Pendidikan Prasekolah
b) PP No. 28/1990 tentang
Pendidikan Dasar
c) PP No. 29/1990 tentang
Pendidikan Menengah
d) PP No. 30/1990 tentang
Pendidikan Tinggi (kemudian diganti PP No. 60/1999)
e) PP No. 72/1991 tentang
Pendidika Luar Biasa
f) PP No. 73/1991 tentang
Pendidikan Luar Sekolah
g) PP No. 38/1992 tentang
Tenaga Kependidikan
h) PP No. 39/1992 tentang
Peran serta Masyarakat dalam Pendidikan Nasional.
2) Taman Kanak-Kanak
Pendidikan
di TK mengalami perkembangan yang cukup mengesankan, hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat khususnya orang tua semakin menyadari akan pentingnya pendidikan
prasekolah sebagai wahana untuk menyiapkan anak dari segi sikap, pengetahuan,
ketrampilan guna memasuki SD.
3) Pendidikan Dasar
Prestasi
yang sangat mengesankan yang dicapai selama PJOP I ialah melonjaknya jumlah
peserta didik pada SD dan MI. Kendala yang dihadapi adalah banyaknya siswa
putus sekolah dan angka tinggal kelas cukup tinggi. Untuk meninhkatkan mutu
sumber daya manusia Indonesia hingga minimal berpendidikan SLTP maka pada
tanggal 2 Mei 1994 program wajib belajar pendidikan dasar sembilan
tahun dicanangkan.
4) Pendidikan Menengah
Persoalan
yang menonjol pada SLTA umum selama pelita V adalah tentang mutu kelulusan yang
terutama diukur dari kesiapannya untuk memasuki jenjang perguruan tinggi. NEM
dan UMPTN menunjukkan keragaman dalam mutu SLTA antara sekolah dab lokasi
geografis yang berbeda-beda. Maka pada Repelita VI upaya memperbanyak
jumlah SLTA Umum yang bermutu menjadi prioritas melalui pengembangan SMU Plus
yang dilakukan melalui pengerahan peran serta masyarakat.
5) Pendidikan Tinggi
PTN
dan PTS sama-sama menghadapi tantangan mengenai rendahnya proporsi mahasiswa
yang mempelajari bidang teknologi dan MIPA yang menimbulkan dampak negatif pada
dunia kerja. Mengingat dosen memegang peranan kunci dalam peningkatan mutu maka
peningkatan kualifikasi dosen merupakan prioritas dalam pengembangan pendidikan
tinggi di Indonesia saat ini.
6) Pendidikan Luar Sekolah
Pembangunan
pendidikan luar sekolah diprioritaskan pada pemberantasan buta aksara melalui
perluasan jangkauan kejar paket A. Hasilnya adalah semakin menurunnya jumlah
warga masyarakat yang buta huruf.
7) Tantangan, Kendala, dan
Peluang
Berdasarkan
perkembangan pendidikan pada PJP I, ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh
pendidikan Indonesia pada masa-masa selanjutnya , yaitu :
a) Belum mampunya pendidikan
mengimbangi perubahan struktur ekonomi dari pertanian tradisional ke industri
dan jasa
b) Masih rendahnya relevansi
pendidikan
c) Masih belum meratanya mutu
pendidikan
d) Masih tingginya angka putus
sekolah dan tinggal kelas
e) Masih banyaknya kelompok
umur 10 tahun yang buta huruf
f) Masih kurangnya peran serta
dunia usaha dan pendidikan
Kendala
yang dihadapi dalam meningkatkan kinerja pendidikan nasional, Yaitu:
a) Kemiskinan dan
keterbelakangan
b) Terbatasnya guru yang
bermutu
c) Terbatasnya sarana dan
prasarana
d) Manajemen sistem pendidikan
yang belum secara terarah menuju peningkatan mutu, relevansi, dan
efisiensi pendidikn.
e) Adapun peluang yang
dimiliki oleh pendidikan nasional ialah:
a) Keberhasilan wajib belajar
6 tahun yang memberi landasan bagi pelaksanaan wajar sembilan tahun.
b) Semakin meningkatnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan
c) Semakin luasnya sarana
komunikasi
d) Semakin tersebarluasnya
lembaga pendidikan negeri dan swasta
e) Adanya UU No. 2/1989
tentang sistem pendidikan nasional yang memberikan landasan yang kokoh bagi
pendidikan nasional.
B. Pendidikan Pada Masa
Sekarang/Era Global
Memasuki
abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut
bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasaan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah
satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan
terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran
baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di
tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan
kehidupan dengan Negara lain. Yang kita rasakan sekarang adalah adanya
ketertinggalan di dalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun
informal. Oleh karana itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya
manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di
Negara-negara lain.
Setelah
diamati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang
pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan
rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya manusia yang
mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di
berbagai bidang. Ada banyak penyabab mengapa mutu pendidikan di Indonesia, baik
pendidikan formal maupun informal, dinilai rendah. Penyebab rendahnya mutu
pendidikan yang akan kami paparkan kali ini adalah masalah pemerataan
pendidikan, masalah mutu pendidikan, masalah efesiensi pendidikan, dan masalah
relevansi pendidkan.
Kondisi
pendidikan masa kini banyak di pengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Arah pendidikan kurang
jelas
2. Pendidikan sebagai barang
mahal , artinya pendidkan yang berbasis hanya di kategorikan saja tanpa
seimbang dengan kenyataannya dan hanya untuk sebagai bahan bisnis.orang akan
tertarik pada sekolah-sekolah yang berbasis,sehingga biayanya pun pasti mahal, maka
sekolah pun dijadikan ajang bisnis.
3. penyelewengan dana : pihak
sekolah berlaku tidak adil atas hak peserta didiknya,dana untuk keperluan
sekolah banyak yang di korupsi oleh para pihak sekolah,sehingga sistem atau
struktur sekolah pun tidak tersalurkan dengan baik dan banyak kekurangannya.
4. kualitas dan kuantitas guru
yang kurang : guru yang kurang profesional dalam mengemban pengajarannya dan
tidak sesuainya dalam sistem pemberian pembelajaran.
5. pendidikan tidak
merata
6. kurang penghargaan pada
guru atau dosen
Akibat
dari hal tersebut dikarenakan adanya :
1. politasi pendidikan
2. oper spesialisasi
3. sekularitas pendidikan
grafik
perbandingan pendidikan di dunia
C. Evolusi Pendidikan Guru Di
Indonesia
1. Pendidikan Jaman Hindia
Belanda
Sekolah
guru pertama di indonesia yaitu Kweekschool. Sekolah ini
didirikan oleh pemerintah hindia belanda pada tahun 1852. Pada tahun 1942,
untuk orang indonesia yang ingin menjadi guru terdapat dua jenis sekolah guru
yaitu sekolah pribumi kelas 1 dengan bahasa pengantar bahasa belanda dan
sekolah pribumi kelas 2 dengan bahasa pengantar salah satu dari bahasa daerah.
Untuk
menjadi guru di SD dengan bahasa pengantar bahasa daerah, terdapat program
pendidikan yang disebut cursus voor volksschool onderwijzers (CVO) selama
2
tahun.
Setelah lulus dari CVO melanjutkan ke sekolah Normaalschool selama
4 tahun.
Untuk
mengajar di sekolah menengah seorang guru harus memiliki “MO AKTE”, yaitu akte
yang memberikan wewenang kepada pemiliknya untuk mengajar di pendidikan
menengah.
2. Pendidikan Guru
Pada Jaman Jepang
Pendidikan
guru pada jaman jepang terdapat dua sekolah yaitusekolah guru laki-laki dan
sekolah guru perempuan dengan lama studi 4 tahun. Untuk sekolah guru menengah
tinggi disebut Kooto Shihan Gakkoo selama 4 tahun untuk lulusan SMP dan 1 tahun
untuk lulusan SMA. Selain itu terdapat pula sekolah guru untuk kepandaian putri
(SGKP) selama 4 tahun.
3. Pendidikan guru periode
1945-1949
Pada
jaman ini kementrian pendidikan memutuskan untuk mengembangkan 3 jenis sekolah
guru. Sekolah guru C, sekolah guru B, dan sekolah guru A.
4. Pendidikan guru
periode 1950-1965
Pada
periode ini pemerintah telah memutuskan bahwa setiap anak indonesia antara umur
6-12 tahun harus mendapat kesempatan belajar, maka konsekwensinya adalah bahwa
sekolah-sekolah baru harus didirikan dan guru-guru untuk sekolah baru harus
dipersiapkan. Untuk mendukung program ini pemerintah menyelenggarakan guru
darurat yang hanya berlangsung selama 2 tahun sesudah SD yang dikenal dengan
nama KPKPKB/Kursus Pengantar Kepelaksanaan Kewajiban Belajar. Dan tamatan dari
sekolah ini ditingkatkan kemampuan mengajarnya melalui balai kursus tertulis
pendidikan guru di bandung. Pemerintah menyelenggarakan pendidikan guru untuk
sekolah menengah melalui kursus B-I dan kursus B-II serta perguruan tinggi
pendidikan guru.
5. Periode Orde Baru
Pada
jaman ini peningkatan mutu pendidikan dilakukan melalui dua langkah dasar yaitu
peningkatan mutu guru melalui penataran guru dalam jabatan dan peningkatan mutu
guru. Dalam pelaksanaannya peningkatan mutu guru dilakukan melalui pendidikan
guru prajabatan. Untuk guru SD mendapat pendidikan sampai dengan taraf D2, guru
SMP sampai taraf D3, dan guru SMU sampai taraf S1 dan S2. Namun pada akhirnya
semua pendidikan guru yang bersifat prajabatan harus diselenggarakan pada
jenjang perguruan tinggi. Melalui IKIP, namun kemudian IKIP dipandang tidak
memenuhi keinginan masyarakat atau mengecewakan, IKIP dikembangkan menjadi
universitas penuh yang lengkap dengan berbagai fakultas dan tidak hanya
terkonsentrasi pada bidang pendidikan saja.
D. Permasalahan Dalam
Pendidikan
Masalah pendidikan pendidikan di Indonesia masih menjadi
perhatian khusus oleh pemerintah. Pasalnya Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk
Semua atau education for all (EFA) di
Indonesia menurun tiap tahunnya. Tahun 2011 Indonesia berada diperingkat 69
dari 127 negara dan merosot dibandingkan tahun 2010 yang berada pada posisi 65.
Indeks yang dikeluarkan pada tahun 2011 oleh UNESCO ini
lebih rendah dibandingkan Brunei Darussalam (34), serta terpaut empat peringkat
dari Malaysia (65).
Salah satu penyebab rendahnya indeks pembangunan pendidikan
di Indonesia adalah tingginya jumlah anak putus sekolah. Sedikitnya setengah
juta anak usia sekolah dasar (SD) dan 200 ribu anak usia sekolah menengah
pertama (SMP) tidak dapat melanjutkan pendidikan. Data pendidikan tahun 2010
juga menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah. Bahkan
laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan menunjukan bahwa setiap menit ada
empat anak yang putus sekolah. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati
urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut
survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas
pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi
Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic
Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya
menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia.
Dan
masih menurut survei Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai
pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Memasuki abad ke- 21 dunia
pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh
kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena
kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Salah satu
penyebabnya adalah karena memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan
kuat dan terbuka. Kemajuan teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan
kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di
tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan
kehidupan dengan negara lain.
1. Permasalahan Umum
a. Standardisasi Pendidikan di
Indonesia
Kualitas
pendidikan diukur oleh standar dan kompetensi di dalam berbagai versi, demikian
pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan
kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan
terhadap sandardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan
akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu
kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja
sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta
didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar
pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat
digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih
spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di
atas standar saja.
Hal
seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan
makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu
penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Selain itu, akan lebih baik
jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah
sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi
misalnya. Sebagian orang menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup
baik, namun yang disayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang
menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya
dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalui peserta didik yang
telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlangsug
sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa
mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak
hal lain juga yang sebenarnya dapat dibahas dalam pembahasan sandardisasi
pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu
lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi.
b. Efektivitas Pendidikan
Pendidikan
yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk
dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai
dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan
trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar
pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektivitas
pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan
penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya
tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini
menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan
dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses
pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan
efektifitas pengajaran.
Bagaimana
mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita. Selama ini,
banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi
formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli
bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah
melaksanak pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dinaggap hebat oleh
masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas
pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunya kelebihan di
bidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat
dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam
pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan di
bidang sosial dan dipaksa mangikuti program studi IPA akan menghasilkan
efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang
mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti
itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak
kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di
Indonesia.
c. Efisiensi Pendidikan
Efisien
adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang
lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita
memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang
baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di
Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaiman dapat meraih
stendar hasil yang telah disepakati.
Beberapa
masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan,
waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain
yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga
berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah
mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita.
Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relatif lebih randah jika kita
bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education.
Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu
tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan
sepadan untuk biaya pendidiakan. Jika kita berbiara tentang biaya pendidikan,
kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga
pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara
tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi
yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di
sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya
pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah
buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami
survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan.
Yang
mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya,
yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain
masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu
pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kami lihat bahwa pendidikan tatap
muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan Negara lain. Dalam
pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal
pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.
Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik
yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu
tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain
seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses
pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, Karena peserta didik akhirnya
mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai
kurang.
Selain itu, masalah lain efisienfi pengajarn yang akan kami bahas adalah mutu
pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang
mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang
juga membutuhkan uang lebih.
Kurangnya
mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya.
Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di
mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut
benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang
sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan
pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta
didik. Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan
efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan
kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam
beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum
1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses
pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya.
Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan
pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya
pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum
yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang
dinilai lebih efektif.
2. Permasalahan Khusus
Beberapa
permasalahan khusus yang berkenaan dengan kualitas pendidikan di Indonesia:
a. Rendahnya Kualitas Sarana
Fisik
Untuk
sarana fisik masih banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi yang gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi
tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki
gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan
sebagainya.
b. Rendahnya Kualitas Guru
Dalam dunia pendidikan guru menduduki posisi tertinggi dalam
hal penyampaian informasi dan pengembangan karakter mengingat guru melakukan
interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas.
Disinilah kualitas pendidikan terbentuk dimana kualitas pembelajaran yang
dilaksanakan oleh guru ditentukan oleh kualitas guru yang bersangkutan.
Kebanyakan
guru di Indonesia belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya. Bahkan sebagian guru dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan
mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri.
Secara umum, kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia
masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari sisi kualifikasi pendidikan,
hingga saat ini dari 2,92 juta guru baru sekitar 51% yang berpendidikan S-1
atau lebih sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1. Begitu juga dari
persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5% guru yang
memenuhi syarat sertifikasi sedangkan 861.670 guru lainnya belum memenuhi
syarat sertifikasi.
Dari segi penyebarannya, distribusi guru tidak merata.
Kekurangan guru untuk sekolah di perkotaan, desa, dan daerah terpencil
masing-masing adalah 21%, 37%, dan 66%. Sedangkan secara keseluruhan Indonesia
kekurangan guru sebanyak 34%, sementara di banyak daerah terjadi kelebihan
guru. Belum lagi pada tahun 2010-2015 ada sekitar 300.000 guru di semua jenjang
pendidikan yang akan pensiun sehingga harus segera dicari pengganti untuk
menjamin kelancaran proses belajar.
Walaupun
guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan
tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai
cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
c. Rendahnya Kesejahteraan
Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia. idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta
rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta.
guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10
ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa
melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi
les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/
LKS, pedagang pulsa ponsel.
d. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan
keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Salah
satunya pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia
internasional sangat rendah. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai
30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal
berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka
sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
e. Kurangnya Pemerataan
Kesempatan Pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat sekolah dasar. Data balitbang
departemen pendidikan nasional dan direktorat jenderal binbaga departemen agama
tahun 2000 menunjukan angka partisipasi murni (APM) untuk anak usia SD pada
tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian apm ini termasuk
kategori tinggi. Angka partisipasi murni pendidikan di SLTP masih rendah yaitu
54, 8% (9,4 juta siswa). Layanan pendidikan usia dini masih sangat
terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat
pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan
kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
f. Rendahnya Relevansi
Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal
tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BapPeNas
(1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka
yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan
15,07%. Menurut data balitbang DepDikNas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta
anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya
kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik
memasuki dunia kerja.
g. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi
(PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak
bersekolah.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau
gratis. Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap
warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk
mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru
ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat
dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
h. Belum Menghasilkan Life
Skill Yang Sesuai
Dalam
kaitannya dengan life skill yang dihasilkan oleh peserta didik setelah menempuh
suatu proses pendidikan, maka berdasarkan PP No.19/2005 sebagaimana dalam pasal
13 bahwa:
1) Kurikulum untuk SMP/ MTs/
SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, sma/ma/smalb atau bentuk lain yang
sederajat, SMK/ MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan pendidikan
kecakapan hidup.
2) Pendidikan kecakapan hidup
yang dimaksud meliputi kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan
vokasional.
Selain
itu ditetapkan pula standar kompetensi lulusan, dalam pasal 26 ditetapkan
sebagai berikut:
1) Standar kompetensi lulusan
pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri,
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2) Standar kompetensi lulusan
pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, akhlak mulia, serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
3) Standar kompetensi lulusan
pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan kepribadianm akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
4) Standar kompetensi lulusan
pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan,
keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta
menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Adapun
kriteria penilaian hasil belajar dapat dilakukan oleh pendidik, satuan
pendidikan, maupun pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh pendidik diatur
dalam pasal 64 antara lain penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran
agama, akhlak mulia, pendidikan kewarganegaraan dan akhlak mulia dilakukan
melalui: a) Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai
perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik, serta. b) Ulangan, ujian,
dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
Penilaian
hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan atau bentuk lain yang
sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai.
Penilaian
hasil belajar kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan
terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi
psikomotorik peserta didik.
Penilaian
hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan dilakukan
melalui: a) Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk meniali
perkembangan psikomotorik dan afektif peserta didik, dan; b) Ulangan dan atau
penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
Berdasarkan
ketentuan di atas, maka dalam menciptakan life skill yang diharapkan dimiliki
oleh siswa ukuran yang digunakan adalah penilaian-penilaian di atas. Namun
kenyataan sebaliknya justru menunjukan bahwa korelasi antara proses pendidikan
selama ini dengan pembentukan kepribadian siswa merupakan hal yang
dipertanyakan. Kasus tawuran antar pelajar, seks bebas, narkoba, dan berbagai
masalah sosial lainnya merupakan indikator yang relevan untuk mempertanyakan
hal ini.
i. Pendidikan yang Belum
Berbasis Pada Masyarakat dan Potensi Daerah
Struktur
kurikulum yang ditetapkan berdasarkan UU No.20/2003 dalam pasal 36 tentang
kurikulum menyebutkan:
1) Pengembangan kurikulum
dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional.
2) Kurikulum pada semua
jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai
dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
3) Kurikulum disusun sesuai
dengan jenjang pendidikan dalam kerangka negara kesatuan republik indonesia
dengan memperhatikan: a) Peningkatan iman dan takwa; b) Peningkatan akhlak
mulia; c) Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d) Keragaman
potensi daerah dan lingkungan; e) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f)
Tuntutan dunia kerja; g) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h)
Agama; i) Dinamika perkembangan global; dan j) Persatuan nasional dan
nilai-nilai kebangsaan.
4) Ketentuan mengenai
pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dalam
PP no.19/2005 antara lain dalam pasal 6 yang menyebutkan:1) kurikulum untuk
jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia,
kewarganegaraan dan akhlak mulia, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika,
jasmani, olahraga dan kesehatan. 6). Kurikulum dan silabus sd/mi/sdlb/paket a,
atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran
membaca dan menulis. Kecakapan berhitung, serta kemampuan berkomunikasi.
Masyarakat
dan lingkungan tempat tinggal merupakan bagian yang terintegrasi dengan siswa
sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang sebenarnya tentu melibatkan
peranan keluarga, lingkungan-masyarakat dan sekolah, sehingga jika salah
satunya tidak berjalan dengan baik maka dapat mempengaruhi keberlangsungan
pendidikan itu sendiri.
j. Belum Optimalnya Kemitraan
dengan Dunia Usaha/ Dunia Industri
Berkaitan
dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam UU No.20/2005 sisdiknas pasal
54 tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan menyebutkan : (1) peran
serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) masyarakat
dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
(3) ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Hal
yang justru memunculkan kerawanan saat ini adalah dengan adanya RUU BHP maka
peranan pihak swasta (pengusaha) mendapatkan akses yang lebih luas untuk
mengelola pendidikan. Apabila kemitraan dengan DU/ DI tersebut ternyata
menempatkan pengusaha ataupun perusahaan sebagai pihak yang berinvestasi dalam
lembaga pendidikan dengan menuntut adanya return yang sepadan dari investasinya
tersebut. Kondisi ini pada akhirnya akan memperkokoh keberlangsungan
kapitalisasi pendidikan.
Dalam
kaitan antara penyerapan DU/ DI terhadap lulusan sekolah maka berdasarkan data
bappenas (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran
terbuka yang dihadapi oleh lulusan smu sebesar 25,47%, diploma/s0 sebesar 27,5%
dan pt sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan
kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%,
dan 15,07%. Menurut data balitbang depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3
juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga
menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara
hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang
materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta
didik memasuki dunia kerja.
k. Proses Pembelajaran Yang
Konvensional
Dalam
hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah
menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini
dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta
kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam
PP No. 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19
sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran
pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian,
dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan
standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara
peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model
yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif
dan efisien. Kenyataan saat ini, banyak diantara pendidik yang masih
melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya belum
menguasai teknologi informasi seperti komputer dan internet. Banyak di SD yang
belum menguasai komputer dan internet, padahal menguasai komputer akan
mempermudah tugas guru, misalnya ketika memproses nilai-nilai siswa. Terutama
guru-guru yang sudah lama mengabdi, sedikit sekali menguasai komputer dan
mengakses internet. Apalagi guru-guru SD, sehingga sekarang ini pada umumnya
kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi ini kalah oleh para siswanya.
Penguasaan
teknologi informasi tersebut akan mempermudah tugas rutin para guru. Selama
ini, tugas tersebut dilakukan guru secara manual. Kurangnya penguasaan komputer
tersebut bukan karena tidak tersedianya sarana komputer di sekolah, namun
karena kurang kemampuan dan kemauan. Sehingga, komputer tersebut lebih banyak
digunakan oleh bagian tata usaha. Akibatnya, saat seorang guru yang memerlukan
jasa komputer, cenderung untuk minta bantuan tenaga karyawan tata usaha.
Selain
kurangnya penguasaan TIK, masih terdapat juga guru yang melakukan pembelajaran
dengan menggunakan model dan metode pembelajaran yang konvensional.
Pembelajaran yang seperti ini akan membuat siswa merasa bosan, yang berdampak
kurang optimal pencapaian tujuan pembelajaran.
Sudah
selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang
terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan
profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh
pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat
mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.