
Borobudur
merupakan candi terbesar di Indonesia. Candi Borobudur menjadi obyek
wisata yang ramai dikunjungi, juga menjadi pusat ibadah bagi penganut Buddha di
Indonesia khususnya pada setiap perayaan Waisak. Hal ini sesuai dengan
arti namanya yaitu "biara di perbukitan". Saat ini Borobudur
ditetapkan sebagai salah satu Warisan Dunia UNESCO. Borobudur adalah
candi Buddha yang
terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah.
Lokasi
candi adalah kurang lebih 100 km di
sebelah barat daya Semarang dan
40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.
Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha
Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada
masa pemerintahan wangsa Syailendra.


Candi Rara
Jonggrang atau Lara Jonggrang yang terletak di Prambanan adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia. Candi ini terletak di pulau Jawa, kurang lebih 20 km timur Yogyakarta, 40 km barat Surakarta dan 120 km selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Candi Rara Jonggrang
terletak di desa Prambanan yang wilayahnya dibagi antara kabupaten Sleman dan Klaten. Candi ini dibangun pada sekitar tahun 850 Masehi oleh salah seorang dari kedua orang ini, yakni: Rakai
Pikatan, raja kedua wangsa Mataram Iatau Balitung Maha Sambu, semasa wangsa Sanjaya. Tidak lama setelah dibangun, candi ini ditinggalkan dan
mulai rusak.
GEDUNG SATE

Gedung Sate adalah kebanggaan masyarakat Jawa Barat. Bangunan ini
merupakan aset sejarah yang dikenal tidak hanya dalam skala nasional, tetapi
juga internasional. Lebih dari 90 tahun umurnya saat ini, Gedung Sate masih
kokoh berdiri dan menjadi saksi perjalanan pemerintahan Jawa Barat menuju
tercapainya masyarakat yang gemah ripah repeh rapih kerta raharja. Semula,
gedung indah ini disebut Gedung Hebe, yang diserap dari singkatan GB atau
Gouvernements Bedrijven. Namun sejak 1960-an, masyarakat Bandung dan sekitarnya
memberi nama Gedung Sate. Sebutan ini terus dipakai hingga sekarang. Alasannya,
tak lain karena di puncak menara gedung terdapat tusuk sate dengan enam ornamen
berbentuk jambu air. Konon, keenam ornamen tersebut melambangkan modal awal
pembangunan pusat pemerintahan sebesar enam juta gulden. Tusuk sate yang
tertancap di puncak bangunan ini semakin menguatkan ciri khasnya.
Alamat : Jalan Diponegoro No. 22 Kelurahan
Cihaurgeulis, Kecamatan Coblong, Kota Bandung
Luas lahan : 27.990.859 m2
Luas bangunan : 10.877.734 m2 (lantai dasar : 3.039.264 m2; lantai 1: 4.062.533 m2; teras lantai 1: 212.976 m2; lantai 2 : 3.023.796 m2; teras lantai 2: 212.976 m2; menara: 121 m2; teras menara: 205.169 m2)
Tahun dibangun 1920
Luas lahan : 27.990.859 m2
Luas bangunan : 10.877.734 m2 (lantai dasar : 3.039.264 m2; lantai 1: 4.062.533 m2; teras lantai 1: 212.976 m2; lantai 2 : 3.023.796 m2; teras lantai 2: 212.976 m2; menara: 121 m2; teras menara: 205.169 m2)
Tahun dibangun 1920

Lawang Sewu merupakan sebuah bangunan kuno peninggalan jaman belanda
yang dibangun pada 1904. Semula gedung ini untuk kantor pusat perusahaan kereta
api (trem) penjajah Belanda atau Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij
(NIS). Gedung tiga lantai bergaya art deco (1850-1940) ini karya arsitek
Belanda ternama, Prof Jacob F Klinkhamer dan BJ Queendag. Lawang Sewu terletak di sisi timur Tugu Muda Semarang,
atau di sudut jalan Pandanaran dan jalan Pemuda. Disebut Lawang Sewu (Seribu
Pintu), ini dikarenakan bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak.
Kenyataannya, pintu yang ada tidak sampai seribu. Bangunan ini memiliki banyak
jendela tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai
pintu.
Klenteng Sam Po Kong

Kelenteng Gedung Batu Sam Po Kong (Tionghoa: 三保洞) adalah
sebuah petilasan, yaitu bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama
seorang Laksamana Tiongkok beragama Islam yang bernama Zheng He / Cheng Ho.
Kompleks Sam Po Kong berada di daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang. Tanda
yang menunjukan sebagai bekas petilasan yang berciri keislaman dengan
ditemukannya tulisan berbunyi "marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan
bacaan Al Qur'an".
Disebut Gedung Batu karena bentuknya
merupakan gua batu besar yang berada di sebuah bukit batu. Orang Indonesia
keturunan cina menganggap bangunan itu adalah sebuah kelenteng - mengingat
bentuknya memiliki arsitektur bangunan cina sehingga mirip sebuah kelenteng.
Sekarang tempat tersebut dijadikan tempat peringatan dan tempat pemujaan atau
bersembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut, di dalam
gua batu itu diletakan sebuah altar, serta patung-patung Sam Po Tay Djien.
Meskipun Laksamana Cheng Ho adalah seorang muslim, tetapi mereka menganggapnya
sebagai dewa. Hal ini dapat dimaklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau Tau
menganggap orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada
mereka.
Menurut cerita, Laksamana Zheng He sedang
berlayar melewati laut jawa, namun saat melintasi laut jawa, banyak awak
kapalnya yang jatuh sakit, kemudian ia memerintahkan untuk membuang sauh.
Kemudian merapat ke pantai utara semarang untuk berlindung di sebuah Goa dan
mendirikan sebuah masjid di tepi pantai yang sekarang telah berubah fungsi
menjadi kelenteng. Bangunan itu sekarang telah berada di tengah kota Semarang
di akibatkan pantai utara jawa selalu mengalami proses pendangkalan yang
diakibatkan adanya proses sedimentasi sehingga lambat-laun daratan akan semakin
bertambah luas kearah utara.