PEMBELAJARAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA
Marnoto
A.
Pendahuluan
Pada dasarnya orang Jawa ingin selalu menjaga
keselarasan, keharmonisan atau ketenteraman di mana,
kapan, dan dalam keadaan bagaimanapun. Orang Jawa memiliki sifat (a)
andhap asor, (b) tepa selira), (c) empan papan, dan (d) aja
dumeh. Andhap asor tidak berarti rendah diri, tetapi rendah hati. Kata andhap asor sejajar dengan lembah manah. Orang
yang bersikap andhap asor tidak mau
menonjolkan diri meskipun sebenarnya ia memiliki kemampuan. Orang Jawa sangat
mengutamakan sifat andhap asor bila
berhubungan dengan orang lain. Orang yang bersikap andhap asor akan ditinggikan atau dihormati oleh orang lain.
Sebaliknya, orang merendahkan orang lain dan tidak menunjukkan rasa
hormat kepada orang lain baik dalam bertuturkata maupun bertindak ia akan
dianggap tinggi hati (Ngadiman, tanpa tahun). Hal ini dapat tercermin dalam bertutur kata dengan
menggunakan ragam bahasa yang disesuaikan dengan situasai dan kondisi serta
mitra bicara. Penggunaan bahasa yang mempertimbangkan hal-hal demikian
memunculkan berbagai ragam bahasa Jawa yang dikenal dengan unggah-ungguh basa, undha usuk atau tingkat tutur.
Unggah-ungguh
basa merupakan suatu kekayaan budaya yang dimiliki oleh
beberapa suku di Indonesia, terutama suku Jawa, Sunda, dan Bali. Walaupun
sampai saat ini unggah-ungguh bahasa Jawa masih digunakan oleh sebagian besar
penutur bahasa Jawa, namun ada kekhawatiran terhadap keberadaan unggah-ungguh basa tersebut (Sasangka,
2004). Hal ini karena pengaruh perkembangan zaman yang juga turut mempengaruhi
keberadaan suatu bahasa. Bahasa Jawa juga ikut gelombang nut jaman kelakone, artinya bahasa itu ikut terpengaruh perkembangan
jamannya. Bahasa bisa berkembang atau bahkan sebaliknya semakin ditinggalkan
oleh penutur aslinya. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan, karena akhir-akhir
ini banyak generasi mudha yang tidak paham, tidak menguasai, tidak terampil
memilih dan memilah kosa kata krama
maupun krama inggil untuk digunakan
berkomunikasi, lebih-lebih dengan orang tua atau yang harus dihormati. Akibatnya
banyak kesalahan dalam bertutur kata seperti contoh berikut.
(1) Nyuwun pangapunten kula badhe kondur rumiyin.
(2) Kula le siram mangke mawon yen sampun adhem awake.
(3) Putrane kula sing bajeng asmane Anindhiya Ulhaq.
(4) Kula mangke tindake kalih garwane kula radi siang.
(5) Mangga menawi badhe ndherek kula,kendharaan kula
taksih lodhang, Pak.
Hal di atas sering terjadi karena selain kurang paham
juga dianggap sudah menjadi hal yang biasa, tidak malu, tidak tabu jika keliru
dalam bertutur kata. Bahkan, ada kalanya merasa bangga jika bisa
menggunakan/menerapkan kosakata krama
inggil ketika berkomunikasi dengan orang tua atau yang sepatutnya
dihormati.
Pembelajaran unggah-ungguh
bahasa Jawa di sekolah (SD) juga belum bisa mencapai hasil sesuai yang
diharapkan. Banyak anak yang tidak biasa matur
kepada gurunya menggunakan ragam krama maupun
krama alus. Anak tidak bisa menggunakan ragam basa krama dengan benar, belum
bisa berbahasa Jawa secara bener dan pener. Hal ini bisa jadi akibat dari
pembelajaran bahasa yang masih kurang menekankan pentingnya fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi. Pembelajaran bahasa bukan belajar ilmu bahasa, tetapi
belajar berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dengan ragam yang sesuai dengan
situasi kondisi dan mitra bicara. Namun pada kenyataannya siswa kurang tertarik
mendalami /menghafal kosa kata ngoko,
krama, krama inggil sebagai bekal agar terampil berbahasa, karena dianggap
sulit atau rumit. Di satu sisi, di rumah, mereka kebanyakan juga kurang
terbiasa berbahasa Jawa dengan ragam krama
atau krama alus. Langkah yang bisa
ditempuh agar anak terampil berbahasa sesuai dengan unggah ungguh yaitu melalui pembiasaan berunggah-ungguh bahasa Jawa secara
praktis, menyenangkan, dan sesuai
dengan kehidupan sehari-hari,
misalnya bagaimana ia berpamitan kepada bapak ibu ketika
mau berangkat ke sekolah, ijin keluar kelas karena ada keperluan, bercerita dan
berpidato sederhana dengan ragam krama maupun krama alus dan lain sebagainya.
B. Pembelajaran
Unggah-ungguh Bahasa Jawa
Mata
pelajaran bahasa Jawa adalah program untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan
berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa Jawa. Dengan kata lain, mata pelajaran bahasa
Jawa adalah suatu program pengajaran yang mengembangkan ketiga aspek: 1)
pengetahuan bahasa, 2) keterampilan berbahasa, 3) sikap positip/apresiatif
terhadap bahasa Jawa. Pengetahuan bahasa adalah pengetahuan kebahasaan yang
mencakup kaidah kebahasaan, lafal, intonasi, kosa kata, jenis kata, bentuk dan
struktur kalimat, imbuhan, istilah, definisi konsep, dan teori kebahasaan.
Keterampilan berbahasa adalah kemampuan menangkap pikiran, gagasan, dan maksud
orang lain dan/atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan maksudnya kepada orang
lain. Sikap positip terhadap
bahasa adalah sikap menghargai dan
bangga terhadap penggunaan bahasa Jawa
sebagai bahasa identitas/ jatidiri dan kebanggaan orang Jawa.
Adapun
pola pemikiran pembelajaran bahasa Jawa secara mikro (jagad cilik) mengacu pada
(1) pola pembelajaran bahasa Jawa mengarah pada pembentuk kepribadian dan
penguat jati diri masyarakat Jawa yang tercermin pada pocapan, patrap, dan
polatan; (2) pembelajaran bahasa Jawa sebagai upaya pengolahan kearifan budaya lokal untuk
didayagunakan dalam pembangunan budaya nasional, watak, dan karakter
bangsa; (3) pembelajaran bahasa Jawa
sebagai penjaga dan pemelihara kelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa; (4)
pembelajaran bahasa Jawa sebagai upaya penyelarasan pemakaian bahasa, sastra,
dan aksara Jawa agar sejalan dengan perkembangan bahasa Jawa (nut ing jaman
kalakone); (5) pembelajaran bahasa Jawa
sebagai proses pembiasaan penggunaan bahasa Jawa yang laras dan leres dalam
berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari di dalam keluarga dan masyarakat
sesuai dengan kaidah, etika, dan norma yang berlaku; (6) pembelajaran bahasa
Jawa memiliki ciri sebagai pembawa dan pengembang budaya Jawa.
Pembelajaran
unggah-ungguh bahasa Jawa pada
dasarnya adalah pembelajaran berbicara. Pembelajaran ini sebagai proses
pembiasaan penggunaan bahasa Jawa yang laras
dan leres dalam berkomunikasi dan
berinteraksi sehari-hari di dalam keluarga dan masyarakat sesuai dengan kaidah,
etika, dan norma yang berlaku. Pembiasaan penggunaan ragam bahasa Jawa sesuai
dengan unggah-ungguh bahasa dilakukan
dengan menggunakan ragam ngoko, ngoko
alus, krama, maupun krama alus.
Berkaitan
dengan pembelajaran unggah-ungguh,
perlu diuraikan pengertian dan contohnya seperti
berikut ini.
Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa
daerah yang hidup dan dipakai oleh masyarakat suku Jawa yang berada di Jawa
Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Menurut Wahab (1991: 57-58) ditinjau dari segi
sosiolinguistik, bahasa Jawa memiliki tiga stratifikasi pokok yang biasa
disebut dengan unggah-ungguh. Unggah- ungguh bahasa Jawa adalah adat
sopan santun, etika, tatasusila, dan tata krama berbahasa Jawa. Berdasarkan
pengertian tersebut nampak bahwa unggah-ungguh
bahasa Jawa atau sering disebut tingkat tutur atau undha usuk basa tidak hanya terbatas pada tingkat kesopanan bertutur
(bahasa Jawa ragam krama dan ngoko) saja, namun di dalamnya juga
terdapat konsep sopan santun bertingkah laku atau bersikap.
Dalam Karti Basa terbitan Kementerian PP dan K
(1946),
secara garis besar unggah-ungguh bahasa Jawa yang disebut undha usuk terdiri
atas (1) basa ngoko, (2) basa madya, (3) basa krama,
(4) basa krama
inggil, (5) basa kedhaton atau bagongan, (6) basa krama desa dan (7) basa kasar. Undha usuk ngoko terdiri atas
ngoko lugu dan ngoko andhap. Ngoko andhap dibedakan menjadi dua, yaitu ngoko
antyabasa dan basa antya. Undha usuk madya dibedakan menjadi tiga, yaitu madya
ngoko, madyantara, dan madya krama. Undha usuk krama dibedakan menjadi tiga,
yaitu mudha krama, kramantara, dan wredha krama.
Basa ngoko
merupakan bahasa yang yang
lugu (sederhana, wajar, alami) yang belum mengalami perubahan apa pun.
Kata-kata yang ada di dalamnya semuanya ngoko.
Misalnya : Adhik arep ditukokake klambi ta, Pak?
Le,
kowe mangana kana!
Dewi,
bukune gawanen mrene!
Jika dalam
kalimat terdapat kata krama, ragam itu sisebut ngoko antyabasa. Misalnya: Adhik
arep ditumbasake klambi ta, Pak. Jika dalam kalimat terdapat kata krama dan krama inggil, ragam itu disebut basa
antya.
Misalnya: Adhik arep dipundhutke rasukan ta, Pak?
Mas aku ora
bisa ndherekake tindak panjenengan.
Basa madya
merupakan bahasa yang berada di tengah-tengah antara basa ngoko dan basa krama.
Madya ini biasanya dipergunakan untuk bertutur kata dengan orang yang tingkat sosialnya
rendah, tetapi usianya lebih tua dari penuturnya. Jika dalam kalimat hanya terdapat
kata madya dan ngoko, ragam itu disebut madya ngoko. Misalnya: Samang napa mpun nukokake klambi adhine
Wulan dhek wingi esuk?
Yen dika sida lunga pasar, kula samang tukokke udud
Yen sida nggih mang mangkat
Ngga kula tuduhke, mang ngetutke kula mawon
Jika di
dalam kalimat ada kata madya dan krama disebut madyantara.
Misalnya: Samang napa mpun numbaske rasukan adhine Wulan dhek wingi esuk?
Yen keng
slira teng Yogya kula dioleh-olehi geplak.
Sampeyan niku pripun, wingi kula goleki
kok boten enten ngomah
Jika dalam
kalimat terdapat kata madya, krama, dan krama inggil disebut basa madya krama.
Misalnya:
Njenengan napa mpun mundhutke rasukan
adhine Wulan dhek wingi esuk?
Dados sampeyan niku dereng pirsa ta yen Siti sida lunga.
Basa krama
merupakan bahasa yang hormat. Ragam ini dipergunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada
mitra tutur yang menurut perasaan penutur memiliki tingkatan sosial yang lebih
tinggi. Kata-kata yang ada di
dalamnya semuanya berupa krama. Jika di dalamnya terdapat kata krama dan krama
inggil, ragam itu disebut mudha krama. Misalnya: Bapak, panjenengan mangke dipunaturi mundhutaken buku kangge Mas Adi.
Jika di dalamnya hanya terdapat kata
krama saja, disebut kramantara dan wredhakrama. Contoh kramantara: Pak, Sampeyan mangke dipunpurih numbasaken
buku kangge Mas Adi. Anggen kula mriki dipun kengken kalian nyambut sepedha
sampeyan.
Yang
membedakan kedua ragam tersebut terletak pada penggunanya. Jika yang
menggunakan orang mudha disebut mudha krama. Namun jika yang menggunakan orang
tua disebut wredha krama.
Misalnya:
Nak Bayu, sampeyan mangke dipunpurih
numbasaken buku kangge Mas Adi.
Punapa
sampeyan estu kesah dhateng Malang, kula sampeyan tumbasake apel
Bahasa krama inggil merupakan bahasa yang
sangat santun yang bentuknya mirip dengan mudha krama. Misalnya: Abdi dalem sampun atur uninga bilih wulan
ngajeng menika Gusti Patih dipun tengga kawula Tegalreja. Sampun dangu
anggen kawula badhe matur panjenengan, namung kemawon panjenengan boten nate
wonten dalem, mila nembe dinten punika kawula nyaosi priksa.
Basa
kedhaton (di Yograkarta disebut basa bagongan) merupakan bahasa yang digunakan
oleh keluarga raja dan atau digunakan oleh para abdi kerajaan yang bekerja di
dalam istana.
Misalnya: Punapi jengandika maksih darbe adhi malih,
Ndara?
Punapi
boya dadi guguping manah, jengandika kula piji mangarsa.
Krama desa
merupakan ragam halus orang desa yang kurang memahami ragam halus orang kota
(sesuai paugeran unggah-ungguh)
sehingga sering kali salah dalam penggonaan kosa kata.
Misalnya: Tiyang ketigen inggih sami nanem palawija
wenten dhekeman, gandum, kacang, tela pohung lan senese.
Kirangan mangke yen wenten jawoh.
Sampeyan sampun sanjang tiyang sepahe sampeyan yen ajeng
bara teng kitha.
Kula dipun
sanjangi tiyang sepah supados nanem kedhangsul ing pategilan.
Basa
jawa kasar adalah basa yang paling rendah dalam tingkat tutur. Bahasa ini merupakan bahasa sehari-hari orang yang tidak
berpendidikan,
tidak punya sopan santun sama sekali, orang yang sedang marah, atau orang yang meremehkan orang lain.
Orang yang sedang marah biasanya lupa atau tidak mengenal unggah-ungguh yang harus
ditaati dalam berinteraksi dengan orang.
Misalnya: Kowe minggata kana, nyepeti mata!
Budheg
kupingmu ya, diceluk meneng wae!
Chaer
(1995: 52) mengemukakan variasi bahasa, dalam hal ini ragam bahasa yang
penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dalam bahasa
Jawa dengan istilah undha usuk. Dengan adanya
tingkat-tingkat bahasa yang disebut undha usuk ini penutur masyarakat
tutur bahasa Jawa harus mengetahui lebih dahulu kedudukan tingkat sosial mitra bicaranya. Sehubungan
dengan unda usuk ini bahasa Jawa
terbagi dua, yaitu krama untuk
tingkat tinggi dan ngoko untuk
tingkat rendah. Namun, di antara keduanya masih terdapat tingkat-tingkat
antara.
Uhlenbeck
(dalam Chaer 1995: 52-53) membagi tingkat variasi bahasa Jawa menjadi tiga,
yaitu krama, madya, dan ngoko. Kemudian masing-masing dirinci lagi menjadi mudha krama, kramantara, dan wredha
krama, madya ngoko, madyantara, dan madya
krama; ngoko sopan dan ngoko andhap.
Clifford Geertz (dalam Chaer 1995: 53)
membagi menjadi dua bagian pokok, yaitu krama
dan ngoko. Krama dirinci menjadi krama inggil, krama biasa dan krama madya; sedangkan ngoko dirinci lagi menjadi ngoko madya, ngoko
biasa, dan ngoko sae.
Pada zaman sekarang yang sering dipakai
oleh masyarakat dalam bergaul hanya ada empat macam, yaitu basa ngoko yang dibagi menjadi basa
ngoko lugu dan basa ngoko alus
(andhap), dan basa krama yang
dibagi menjadi basa krama lugu dan basa krama inggil (Abikusno 1994: 28).
Ekowardono (1993) mengelompokkan unggah ungguh menjadi dua, yaitu ngoko dan krama. Jika unggah ungguh ditambah krama inggil, unggah ungguh tersebut
akan berubah menjadi krama alus.
Tanpa pemunculan krama inggil, unggah ungguh itu hanya berupa ngoko lugu atau krama lugu.
Unggah
ungguh Bahasa Jawa menurut Sudaryanto
(1989) atau Ekowardono (1993) dapat dilihat dalam bagan berikut ini.
Tingkat
Tutur
Ngoko Krama
Ngoko Ngoko Alus Krama Krama Alus
(Ngoko
Lugu) (Krama
Lugu)
Berikut
ini adalah penjelasan dari masing-masing ragam bahasa Jawa tersebut.
a. Ngoko
Lugu
Tingkat
tutur kata ngoko lugu adalah tingkat
tutur yang semua kosa katanya berbentuk ngoko
(Sasangka 1994: 46). Ciri-ciri dari basa ngoko ini adalah kata-katanya ngoko semua, awalan dan akhiran ngoko. Ragam ngoko ini digunakan oleh orang tua kepada anaknya, orang tua kepada
orang muda, seorang guru kepada muridnya, orang yang berbicara kepada dirinya
sendiri, anak kepada temannya, majikan kepada pembantunya (Abikusno 1994:
28-29).
Misalnya: Siti arep tuku buku ing toko buku.
Bagus mangan sega pecel.
b. Ngoko
Alus
Tingkat
tutur ini kosa katanya terdiri atas kata-kata ngoko, krama inggil, krama andhap, dan krama (Sasangka 1994: 48). Krama
inggil dan krama yang muncul pada
tingkat tutur ini hanya digunakan untuk penghormatan kepada lawan bicara,
sedangkan untuk diri sendiri digunakan bentuk ngoko dan krama andhap.
Ciri-ciri
dari basa ngoko alus ini adalah
kata-katanya ngoko dan krama inggil, awalan dan akhiran tidak
di-krama-kan, dan kata kowe menjadi sliramu atau panjenengan.
Basa ngoko alus ini digunakan oleh
orang tua kepada orang muda yang perlu dihormati, orang muda kepada orang yang
lebih tua karena menghormati (Abikusno 1994: 29).
Misalnya: Bapak arep mundhut apa ta kok tindak toko
buku?
Unjukane wis diunjuk apa durung, Pak?
c Krama
Lugu
Tingkat
tutur krama lugu kosa katanya terdiri
atas kata-kata krama, madya, dan ngoko. Tingkat tutur ini adalah tingkat
tutur yang kadar kehalusannya rendah, tetapi bila dibandingkan dengan tingkat
tutur ngoko alus, tingkat tutur krama ini lebih halus (Sasangka 1994:
53).
Ciri-ciri
dari tingkat tutur krama lugu ini
adalah kata-katanya krama semua,
awalan dan akhiran di-krama-kan, kata
aku menjadi kula, dan kata kowe menjadi sampeyan. Tingkat tutur krama
lugu ini digunakan oleh sesama teman yang belum akrab, orang tua kepada
orang muda yang belum akrab, dan orang yang baru dikenal (Abikusno 1994: 30).
Misalnya: Sampeyan ajeng kesah teng pundi kok mbekta
ember?
Kula sampun ningali mendanipun Danung teng kandhang.
d. Krama
Alus
Tingkat
tutur ini kosa katanya terdiri atas kata-kata krama, krama inggil, dan krama
andhap. Yang menjadi leksikon inti hanyalah yang berbentuk krama (Sasangka 1994: 56).
Ciri-ciri
dari tingkat tutur ini adalah kata-katanya krama
dan krama inggil, awalan dan akhiran
di-krama-kan, dan kata aku menjadi kula, kawula, dalem, dan kata kowe menjadi panjenengan. Tingkat tutur ini digunakan oleh murid kepada gurunya,
anak kepada orang tuanya, orang muda kepada orang tua karena menghormati,
bawahan kepada pimpinannya, dan pembantu kepada majikannya (Abikusno 1994: 30-31).
Misalnya:
Kula sampun matur Bapak bilih benjing
minggu ngajeng Pak Bupati badhe rawuh ing sekolahan kula.
Pak
Guru nembe kemawon rawuh, lajeng tindak malih.
Sejalan dengan Abikusno, Sudaryanto
(1989: 103) membagi tingkat tutur menjadi empat yaitu: ( a ) ngoko; ( b ) ngoko alus; ( c ) krama; ( d )
krama alus. Perbedaanya hanya terdapat pada ngoko lugu dan krama lugu,
sedangkan Sudaryanto menyebut ngoko
dan krama saja. Jadi, pada prinsipnya bahasa Jawa
memiliki sistem tatanan yang kita kenal dengan ngoko dan krama.
Penggunaan bahasa Jawa, khususnya ragam krama
dalam komunikasi dengan orang tua akan lebih santun dibandingkan dengan ragam ngoko. Oleh karena itu, ragam krama itu
merupakan bentuk atau ragam alus yang
berhubungan dengan pemakaian kata-kata yang
khusus untuk memperhalus tuturan itu. Hal ini merupakan ciri ketakziman,
penghormatan, dan pengagungan dalam bahasa Jawa.
Pemilihan
bentuk unggah-ungguh dan pemilihan kosa kata (ngoko, krama, krama
inggil/andhap) berhubungan erat dengan faktor situasi dan faktor sosial. Faktor
situasi misalnya situasi resmi (formal) dan tidak resmi (nonformal). Faktor
sosial meliputi jenis kelamin, umur, hubungan kekeluargaan, jabatan,
pendidikan, pendapatan, tempat, waktu, topik, tujuan, dan tingkat keakraban.
Misalnya, jika penutur dan mitra tutur status sosialnya sejajar dan akrab maka
ada dua kemungkinan, yaitu ngoko lugu-
ngoko lugu atau ngoko alus-ngoko alus.
Misalnya yang ngoko lugu: Arep menyang endi? Menyang pasar, kokterke ta?
Contoh ngoko alus :Kapan rawuh kok
wis neng dalem? Mau bengi. Lho, arep tindak ngendi kok wis rapi?
Peristiwa
tuturan dalam situasi formal atau resmi, hubungan sejajar-tidak sejajar dalam
status sosial atau akrab-tidak akrab dianggap tidak penting lagi atau menjadi
kabur sebab penutur maupun mitra tutur cenderung menggunakan bentuk krama alus, misalnya dalam pembacaan
berita di radio/tv, upacara perkawinan (serah terima pengantin pria, ucapan
selamat datang), rapat desa/kecamatan, atau penyuluhan oleh pejabat setempat
kepada masyarakat.
Pada hakikatnya tugas guru adalah mengembangkan
kompetensi yang dimiliki siswa. Dengan proses pembelajaran, kompetensi yang ada
pada peserta didik diharapkan dapat berkembang seoptimal mungkin. Adapun cara
untuk mengembangkan kompetensi unggauh-ungguh bahasa Jawa antara lain dengan pengembangan materi pembelajaran yang dilakukan
dengan pendekatan keterampilan proses. Oleh karena itu,
agar anak bisa berkomunikasi praktis berbahasa Jawa yang laras dan leres sesuai
dengan unggah-ungguh harus dikembangkan materi pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan dan tingkat perkembangan jiwa anak dan penggunaan model pembelajaran
yang dapat membangkitkan minat belajar siswa.
Adapun contoh pengembangan materi
pembelajaran unggah-ungguh bahasa untuk siswa SD antara lain seperti di bawah
ini.
Kelas I/1
Kompetensi Inti |
Kompetensi Dasar |
Pengembangan Materi |
Pengetahuan 3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang
dirinya, makhluk
ciptaan Tuhan dan kegiatannya,
dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah. |
3.1 Mengenal bunyi bahasa melalui
nama-nama benda
sekitar |
Pengenalan huruf dan kata dengan menampilkan
benda-benda atau binatang di sekitar. Misalnya:
mengeja/membaca dan menulis kosa kata atau teks sederhana berkaitan
dengan benda-benda atau binatang di sekitar kita. Contoh: - nama binatang dalam kosa kata ngoko dan krama (Pitik
Jago, babon, manuk, wedhus, sapi,
kebo, lsp). - nama benda (kembang, pari, gabah, klambi, lsp). - teks bacaan sederhana: (ngingu pitik, nandur pari,
nandur kembang, lsp). |
Keterampilan 4. Menyajikan
pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang
estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang
mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia |
4.1 Mengeja dan menulis huruf,
suku kata, dan kata melalui nama-nama benda
sekitar |
Kelas I/2
Kompetensi Inti |
Kompetensi Dasar |
Pengembangan Materi |
Pengetahuan 3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang
dirinya, makhluk
ciptaan Tuhan dan kegiatannya,
dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah. |
3.3 Mengenal nama anggota tubuh
dalam ragam ngoko dan krama |
Pengenalan kosa kata nama anggota tubuh dalam ragam
ngoko krama, dan krama inggil dengan menampilkan gambar atau teks sederhana. Misalnya: - arane perangane awak: mbun-mbunan, rambut, sirah,
bathuk, alis, idep, tlapukan, idep, mripat, lsp beserta kosa kata krma dan
krama inggil -arane tumindak/pakaryane perangane awak ragam ngoko,
krama, dan krama inggil. Contoh: - mripat kanggo ndeleng- ningali- mirsani - mripat kanggo maca- maca- maos. - cangkem/lesan kanggo mangan- nedha- dhahar - cangkem/lesan kanggo ngomong - wicanten- matur/ngendika, lsp |
Keterampilan 4. Menyajikan
pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang
estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang
mencerminkan perilaku anak beriman
dan berakhlak mulia |
4.3. Menulis
nama-nama anggota tubuh dalam ragam ngoko dan krama. |
Kelas IV/1
Kompetensi Inti |
Kompetensi Dasar |
Pengembangan Materi |
Pengetahuan 3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang
dirinya, makhluk
ciptaan Tuhan dan kegiatannya,
dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah. |
3.2 Memahami cerita wayang tentang tokoh Yudhistira |
Pengenalan tokoh wayang Pandawa, Yudhistira dalam teks
beragam ngoko atau ngoko alus. Misalnya: - Teks bacaan “Raden Yudhistira.” Teks bacaan beragam
ngoko alus, ngoko kecampuran krama inggil. Contoh: - Raden Yudhistira iku putrane Prabu Pandhu
Dewanata karo Dewi Kunthi. - Prabu Pandhu Dewanata kagungan garwa loro,
yaiku Dewi Kunthi lan Dewi Madrim, lsp. Siswa diharapkan bisa menceritakan tokoh yudhistira
dengan menggunakan ragam krama dengan kosa kata krama atau krama inggil. Misalnya: (Cerita siswa) Raden Yudhistira menika putranipun Prabu Pandhu
Dewanata ingkang pambajeng/angka setunggal, lsp. |
Keterampilan 4. Menyajikan
pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang
estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang
mencerminkan perilaku anak beriman
dan berakhlak mulia |
4.2. Menceritakan karakter tokoh wayang menggunakan
ragam krama. |
Kelas V/1
Kompetensi Inti |
Kompetensi Dasar |
Pengembangan Materi |
Pengetahuan 3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang
dirinya, makhluk
ciptaan Tuhan dan kegiatannya,
dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah. |
3.1 Memahami teks pidato |
Teks pidato yang dibaca dan ditulis siswa adalah teks
pidato sederhana yang berkaitan dengan kehidupan siswa, pengalamannya. Misalnya pidhato ulang tahun dalam ragam krama. Kosa
kata krama yang terdapat dalam teks pidato adalah kosa kata krama yang sesuai
dengan unggah-ungguh. Misalnya: -
Mugi-mugi
sedherek kula Mulyono kaparingan umur panjang, boten yuswa panjang Piyambakipun sampun umur 11 taun, boten Panjenenganipun
sampun yuswa 11 taun, lsp. |
Keterampilan 4. Menyajikan
pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang
estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang
mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia |
4.1 Membuat dan menyajikan teks pidato sederhana dengan ragam krama. |
Kelas VI/2
Kompetensi
Inti |
Kompetensi
Dasar |
Pengembangan
Materi |
Pengetahuan 3.
Memahami pengetahuan faktual dan konseptual dengan
cara mengamati dan mencoba (mendengar, melihat, membaca) serta menanya
berdasarkan rasa ingin tahu secara
kritis tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan
benda-benda yang dijumpainya di rumah, sekolah, dan tempat bermain. Keterampilan 4.Menyajikan
pengetahuan faktual dan konseptual dalam
bahasa yang jelas, logis, dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam
gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan
perilaku anak beriman dan berakhlak mulia. |
3.2 Memahami teks percakapan/dialog
dengan teman sebaya atau orang tua
4.2 Menulis dan menyajikan
teks percakapan dengan teman sebaya atau orang tua dengan ragam dan intonasi
yang tepat |
Membaca dan menulis teks pacelathon dan mempraktikannya
dengan bermain peran sesuai teks yang
telah ditulisnya dengan ragam yang sesuai dengan unggah-ungguh (krama/krama
alus) Misalnya: teks pacelathon anak dengan orang tua atau
gurunya tentang cita-citanya (melanjutkan sekolah yang lebih tinggi), berkenalan dengan orang yang lebih tua, dan
sebagainya |
C. Penutup
Orang Jawa memiliki sifat (a) andhap asor, (b) tepa
selira), (c) empan papan, dan (d) aja
dumeh. Andhap asor tidak berarti rendah diri,
tetapi rendah hati. Kata andhap asor
sejajar dengan lembah manah. Orang
yang bersikap andhap asor tidak mau
menonjolkan diri meskipun sebenarnya ia memiliki kemampuan. Orang Jawa sangat
mengutamakan sifat andhap asor bila berhubungan dengan orang lain.
Dengan sifat inilah dalam bertutur kata dan bersikap selalu berusaha menjaga
perasaan agar tidak terjadi konflik dengan cara menggunakan ragam bahasa yang
sesuai dengan norma-norma yang berlaku, empan-papan,
situasi dan kondisi sehingga lahirlah unggah-ungguh basa Jawa.
Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah seharusnya menekankan pentingnya fungsi
bahasa sebagai alat komunikasi. Pembelajaran bahasa diarahkan pada belajar
berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dengan ragam yang sesuai dengan situasi
kondisi dan mitra bicara. Perlu berlatih terus-menerus dengan pembiasaan berunggah-ungguh bahasa Jawa secara
praktis, menyenangkan, sesuai dengan
kehidupan sehari-hari, misalnya bagaimana ia matur dan bersikap ketika
berpamitan kepada bapak ibu, ijin keluar kelas karena ada keperluan, dan lain
sebagainya.
Adapun
pola pemikiran pembelajaran bahasa Jawa secara mikro (jagad cilik) mengacu pada
(1) pola pembelajaran bahasa Jawa mengarah pada pembentuk kepribadian dan
penguat jati diri masyarakat Jawa yang tercermin pada pocapan, patrap, dan
polatan; (2) pembelajaran bahasa Jawa sebagai upaya pengolahan kearifan budaya lokal untuk
didayagunakan dalam pembangunan budaya nasional, watak, dan karakter
bangsa; (3) pembelajaran bahasa Jawa
sebagai penjaga dan pemelihara kelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa; (4)
pembelajaran bahasa Jawa sebagai upaya penyelarasan pemakaian bahasa, sastra,
dan aksara Jawa agar sejalan dengan perkembangan bahasa Jawa (nut ing jaman
kalakone); (5) pembelajaran bahasa Jawa
sebagai proses pembiasaan penggunaan bahasa Jawa yang laras dan leres dalam
berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari di dalam keluarga dan masyarakat
sesuai dengan kaidah, etika, dan norma yang berlaku; (6) pembelajaran bahasa
Jawa memiliki ciri sebagai pembawa dan pengembang budaya Jawa.
Pembelajaran
unggah-ungguh bahasa Jawa pada
dasarnya adalah pembelajaran berbicara. Pembelajaran ini sebagai proses pembiasaan
penggunaan bahasa Jawa yang laras dan
leres dalam berkomunikasi dan
berinteraksi sehari-hari di dalam keluarga dan masyarakat sesuai dengan kaidah,
etika, dan norma yang berlaku. Pembiasaan penggunaan ragam bahasa Jawa sesuai
dengan unggah-ungguh bahasa dilakukan
dengan menggunakan ragam ngoko, ngoko
alus, krama, maupun krama alus.
Unggah-
ungguh bahasa Jawa adalah adat sopan
santun, etika, tata susila, dan tata krama berbahasa Jawa. Berdasarkan
pengertian tersebut nampak bahwa unggah-ungguh
bahasa Jawa atau sering disebut tingkat tutur atau undha usuk basa tidak hanya terbatas pada tingkat kesopanan
bertutur (bahasa Jawa ragam krama dan
ngoko) saja, namun di dalamnya juga
terdapat konsep sopan santun bertingkah laku atau bersikap.
Dalam Karti Basa terbitan Kementerian PP dan K
(1946),
secara garis besar unggah-ungguh bahasa Jawa yang disebut undha usuk terdiri
atas (1) basa ngoko, (2) basa madya, (3) basa krama,
(4) basa krama
inggil, (5) basa kedhaton atau bagongan, (6) basa krama desa dan (7) basa kasar. Undha usuk ngoko terdiri atas
ngoko lugu dan ngoko andhap. Ngoko andhap dibedakan menjadi dua, yaitu ngoko
antyabasa dan basa antya. Undha usuk madya dibedakan menjadi tiga, yaitu madya
ngoko, madyantara, dan madya krama. Undha usuk krama dibedakan menjadi tiga,
yaitu mudha krama, kramantara, dan wredha krama.
Sudaryanto (1989: 103) membagi tingkat tutur menjadi empat yaitu: ( a ) ngoko; ( b ) ngoko alus; ( c ) krama; ( d )
krama alus. Perbedaanya hanya terdapat pada ngoko lugu dan krama lugu,
sedangkan Sudaryanto menyebut ngoko
dan krama saja. Jadi, pada prinsipnya bahasa Jawa
memiliki sistem tatanan yang kita kenal dengan ngoko dan krama.
Penggunaan bahasa Jawa, khususnya ragam krama
dalam komunikasi dengan orang tua akan lebih santun dibandingkan dengan ragam ngoko. Oleh karena itu, ragam krama itu
merupakan bentuk atau ragam alus yang
berhubungan dengan pemakaian kata-kata yang
khusus untuk memperhalus tuturan itu. Hal ini merupakan ciri ketakziman,
penghormatan, dan pengagungan dalam bahasa Jawa.
Pemilihan
bentuk unggah-ungguh dan pemilihan
kosa kata (ngoko, krama, krama
inggil/andhap) berhubungan erat dengan faktor situasi dan faktor sosial. Faktor
situasi misalnya situasi resmi (formal) dan tidak resmi (nonformal). Faktor
sosial meliputi jenis kelamin, umur, hubungan kekeluargaan, jabatan,
pendidikan, pendapatan, tempat, waktu, topik, tujuan, dan tingkat keakraban.
Tugas guru adalah mengembangkan kompetensi yang
dimiliki siswa. Dengan proses pembelajaran, kompetensi yang ada pada siswa diharapkan dapat berkembang seoptimal mungkin. Agar kompetensi
unggah-ungguh basa yang dimiliki siswa dapat berkembang secara optimal, maka cara yang dilakukan guru adalah mengembangkan materi
pembelajaran dengan pendekatan
keterampilan proses. Oleh karena itu, agar anak bisa berkomunikasi praktis
berbahasa Jawa yang laras dan leres sesuai dengan unggah-ungguh harus
dikembangkan materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat
perkembangan jiwa anak dan penggunaan model pembelajaran yang dapat membangkitkan
minat belajar siswa.