Tuesday, October 20, 2020

Makalah Ungguh - Ungguh

 PEMBELAJARAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA

DI SEKOLAH DASAR

Marnoto

 

 

A.    Pendahuluan

 

Pada dasarnya orang Jawa ingin selalu menjaga keselarasan, keharmonisan atau ketenteraman di mana, kapan, dan dalam keadaan bagaimanapun. Orang Jawa memiliki sifat (a) andhap asor, (b) tepa selira), (c) empan papan, dan (d) aja dumeh.  Andhap asor tidak berarti rendah diri, tetapi rendah hati. Kata andhap asor sejajar dengan lembah manah. Orang yang bersikap andhap asor tidak mau menonjolkan diri meskipun sebenarnya ia memiliki kemampuan. Orang Jawa sangat mengutamakan sifat andhap asor bila berhubungan dengan orang lain. Orang yang bersikap andhap asor akan ditinggikan atau dihormati oleh orang lain. Sebaliknya, orang merendahkan orang lain dan tidak menunjukkan rasa hormat kepada orang lain baik dalam bertuturkata maupun bertindak ia akan dianggap tinggi hati (Ngadiman, tanpa tahun).  Hal ini dapat tercermin dalam bertutur kata dengan menggunakan ragam bahasa yang disesuaikan dengan situasai dan kondisi serta mitra bicara. Penggunaan bahasa yang mempertimbangkan hal-hal demikian memunculkan berbagai ragam bahasa Jawa yang dikenal dengan unggah-ungguh basa, undha usuk atau tingkat tutur.

Unggah-ungguh basa merupakan suatu kekayaan budaya yang dimiliki oleh beberapa suku di Indonesia, terutama suku Jawa, Sunda, dan Bali. Walaupun sampai saat ini unggah-ungguh bahasa Jawa masih digunakan oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa, namun ada kekhawatiran terhadap keberadaan unggah-ungguh basa tersebut (Sasangka, 2004). Hal ini karena pengaruh perkembangan zaman yang juga turut mempengaruhi keberadaan suatu bahasa. Bahasa Jawa juga ikut gelombang nut jaman kelakone, artinya bahasa itu ikut terpengaruh perkembangan jamannya. Bahasa bisa berkembang atau bahkan sebaliknya semakin ditinggalkan oleh penutur aslinya. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan, karena akhir-akhir ini banyak generasi mudha yang tidak paham, tidak menguasai, tidak terampil memilih dan memilah kosa kata krama maupun krama inggil untuk digunakan berkomunikasi, lebih-lebih dengan orang tua atau yang harus dihormati. Akibatnya banyak kesalahan dalam bertutur kata seperti contoh berikut.

(1) Nyuwun pangapunten kula badhe kondur rumiyin.

(2) Kula le siram mangke mawon yen sampun adhem awake.

(3) Putrane kula sing bajeng asmane Anindhiya Ulhaq.

(4) Kula mangke tindake kalih garwane kula radi siang.

(5) Mangga menawi badhe ndherek kula,kendharaan kula taksih lodhang, Pak.

Hal di atas sering terjadi karena selain kurang paham juga dianggap sudah menjadi hal yang biasa, tidak malu, tidak tabu jika keliru dalam bertutur kata. Bahkan, ada kalanya merasa bangga jika bisa menggunakan/menerapkan kosakata krama inggil ketika berkomunikasi dengan orang tua atau yang sepatutnya dihormati.

Pembelajaran unggah-ungguh bahasa Jawa di sekolah (SD) juga belum bisa mencapai hasil sesuai yang diharapkan. Banyak anak yang tidak biasa matur kepada gurunya menggunakan ragam krama maupun krama alus. Anak tidak bisa menggunakan ragam basa krama dengan benar, belum bisa berbahasa Jawa secara bener dan pener. Hal ini bisa jadi akibat dari pembelajaran bahasa yang masih kurang menekankan pentingnya fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Pembelajaran bahasa bukan belajar ilmu bahasa, tetapi belajar berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dengan ragam yang sesuai dengan situasi kondisi dan mitra bicara. Namun pada kenyataannya siswa kurang tertarik mendalami /menghafal kosa kata ngoko, krama, krama inggil sebagai bekal agar terampil berbahasa, karena dianggap sulit atau rumit. Di satu sisi, di rumah, mereka kebanyakan juga kurang terbiasa berbahasa Jawa dengan ragam krama atau krama alus. Langkah yang bisa ditempuh agar anak terampil berbahasa sesuai dengan unggah ungguh yaitu melalui pembiasaan berunggah-ungguh bahasa Jawa secara praktis, menyenangkan,  dan  sesuai  dengan  kehidupan  sehari-hari,  misalnya bagaimana ia berpamitan kepada bapak ibu ketika mau berangkat ke sekolah, ijin keluar kelas karena ada keperluan, bercerita dan berpidato sederhana dengan ragam krama maupun krama alus dan lain sebagainya.

 

B. Pembelajaran Unggah-ungguh Bahasa Jawa

 

Mata pelajaran bahasa Jawa adalah program untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa Jawa. Dengan kata lain, mata pelajaran bahasa Jawa adalah suatu program pengajaran yang mengembangkan ketiga aspek: 1) pengetahuan bahasa, 2) keterampilan berbahasa, 3) sikap positip/apresiatif terhadap bahasa Jawa. Pengetahuan bahasa adalah pengetahuan kebahasaan yang mencakup kaidah kebahasaan, lafal, intonasi, kosa kata, jenis kata, bentuk dan struktur kalimat, imbuhan, istilah, definisi konsep, dan teori kebahasaan. Keterampilan berbahasa adalah kemampuan menangkap pikiran, gagasan, dan maksud orang lain dan/atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan maksudnya kepada orang lain. Sikap positip terhadap bahasa  adalah sikap menghargai dan bangga terhadap penggunaan bahasa  Jawa sebagai bahasa identitas/ jatidiri dan kebanggaan orang Jawa.

Adapun pola pemikiran pembelajaran bahasa Jawa secara mikro (jagad cilik) mengacu pada (1) pola pembelajaran bahasa Jawa mengarah pada pembentuk kepribadian dan penguat jati diri masyarakat Jawa yang tercermin pada pocapan, patrap, dan polatan; (2) pembelajaran bahasa Jawa sebagai upaya pengolahan kearifan   budaya lokal   untuk   didayagunakan dalam pembangunan budaya nasional, watak, dan karakter bangsa;   (3) pembelajaran bahasa Jawa sebagai penjaga dan pemelihara kelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa; (4) pembelajaran bahasa Jawa sebagai upaya penyelarasan pemakaian bahasa, sastra, dan aksara Jawa agar sejalan dengan perkembangan bahasa Jawa (nut ing jaman kalakone); (5)  pembelajaran bahasa Jawa sebagai proses pembiasaan penggunaan bahasa Jawa yang laras dan leres dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari di dalam keluarga dan masyarakat sesuai dengan kaidah, etika, dan norma yang berlaku; (6) pembelajaran bahasa Jawa memiliki ciri sebagai pembawa dan pengembang budaya Jawa.

Pembelajaran unggah-ungguh bahasa Jawa pada dasarnya adalah pembelajaran berbicara. Pembelajaran ini sebagai proses pembiasaan penggunaan bahasa Jawa yang laras dan leres dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari di dalam keluarga dan masyarakat sesuai dengan kaidah, etika, dan norma yang berlaku. Pembiasaan penggunaan ragam bahasa Jawa sesuai dengan unggah-ungguh bahasa dilakukan dengan menggunakan ragam ngoko, ngoko alus, krama, maupun krama alus.

Berkaitan dengan pembelajaran unggah-ungguh,  perlu diuraikan pengertian dan contohnya seperti berikut ini.

Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang hidup dan dipakai oleh masyarakat suku Jawa yang berada di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Menurut Wahab (1991: 57-58) ditinjau dari segi sosiolinguistik, bahasa Jawa memiliki tiga stratifikasi pokok yang biasa disebut dengan unggah-ungguh. Unggah- ungguh bahasa Jawa adalah adat sopan santun, etika, tatasusila, dan tata krama berbahasa Jawa. Berdasarkan pengertian tersebut nampak bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa atau sering disebut tingkat tutur atau undha usuk basa tidak hanya terbatas pada tingkat kesopanan bertutur (bahasa Jawa ragam krama dan ngoko) saja, namun di dalamnya juga terdapat konsep sopan santun bertingkah laku atau bersikap.

Dalam Karti Basa terbitan Kementerian PP dan K (1946), secara garis besar unggah-ungguh bahasa Jawa yang disebut undha usuk terdiri atas (1) basa ngoko, (2) basa madya, (3) basa krama, (4) basa krama inggil, (5) basa kedhaton atau bagongan, (6) basa krama desa dan (7) basa kasar. Undha usuk ngoko terdiri atas ngoko lugu dan ngoko andhap. Ngoko andhap dibedakan menjadi dua, yaitu ngoko antyabasa dan basa antya. Undha usuk madya dibedakan menjadi tiga, yaitu madya ngoko, madyantara, dan madya krama. Undha usuk krama dibedakan menjadi tiga, yaitu mudha krama, kramantara, dan wredha krama.  

Basa ngoko merupakan bahasa yang yang lugu (sederhana, wajar, alami) yang belum mengalami perubahan apa pun. Kata-kata yang ada di dalamnya semuanya ngoko.

Misalnya : Adhik arep ditukokake klambi ta, Pak?

                  Le, kowe mangana kana!

                  Dewi, bukune gawanen mrene!

Jika dalam kalimat terdapat kata krama, ragam itu sisebut ngoko antyabasa. Misalnya: Adhik arep ditumbasake klambi ta, Pak. Jika dalam kalimat terdapat kata krama dan krama inggil, ragam itu disebut basa antya.

Misalnya: Adhik arep dipundhutke rasukan ta, Pak?

Mas aku ora bisa ndherekake tindak panjenengan.

Basa madya merupakan bahasa yang berada di tengah-tengah antara basa ngoko dan basa krama. Madya ini biasanya dipergunakan untuk bertutur kata dengan orang yang tingkat sosialnya rendah, tetapi usianya lebih tua dari penuturnya. Jika dalam kalimat hanya terdapat kata madya dan ngoko, ragam itu disebut madya ngoko. Misalnya: Samang napa mpun nukokake klambi adhine Wulan dhek wingi esuk?

                        Yen dika sida lunga pasar, kula samang tukokke udud

                        Yen sida nggih mang mangkat

                        Ngga kula tuduhke, mang ngetutke kula mawon

Jika di dalam kalimat ada kata madya dan krama disebut madyantara.

Misalnya: Samang napa mpun numbaske rasukan adhine Wulan dhek wingi esuk?

                 Yen keng slira teng Yogya kula dioleh-olehi geplak.

                        Sampeyan niku pripun, wingi kula goleki kok boten enten ngomah

Jika dalam kalimat terdapat kata madya, krama, dan krama inggil disebut basa madya krama.

Misalnya: Njenengan napa mpun mundhutke rasukan adhine Wulan dhek wingi esuk?

                        Dados sampeyan niku dereng pirsa ta yen Siti sida lunga.

 

Basa krama merupakan bahasa yang hormat. Ragam ini dipergunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada mitra tutur yang menurut perasaan penutur memiliki tingkatan sosial yang lebih tinggi. Kata-kata yang ada di dalamnya semuanya berupa krama. Jika di dalamnya terdapat kata krama dan krama inggil, ragam itu disebut mudha krama. Misalnya: Bapak, panjenengan mangke dipunaturi mundhutaken buku kangge Mas Adi.

            Jika di dalamnya hanya terdapat kata krama saja, disebut kramantara dan wredhakrama. Contoh kramantara: Pak, Sampeyan mangke dipunpurih numbasaken buku kangge Mas Adi. Anggen kula mriki dipun kengken kalian nyambut sepedha sampeyan.

Yang membedakan kedua ragam tersebut terletak pada penggunanya. Jika yang menggunakan orang mudha disebut mudha krama. Namun jika yang menggunakan orang tua disebut wredha krama.

Misalnya: Nak Bayu, sampeyan mangke dipunpurih numbasaken buku kangge Mas Adi.

Punapa sampeyan estu kesah dhateng Malang, kula sampeyan tumbasake apel

Bahasa krama inggil merupakan bahasa yang sangat santun yang bentuknya mirip dengan mudha krama. Misalnya: Abdi dalem sampun atur uninga bilih wulan ngajeng menika Gusti Patih dipun tengga kawula Tegalreja. Sampun dangu anggen kawula badhe matur panjenengan, namung kemawon panjenengan boten nate wonten dalem, mila nembe dinten punika kawula nyaosi priksa.

Basa kedhaton (di Yograkarta disebut basa bagongan) merupakan bahasa yang digunakan oleh keluarga raja dan atau digunakan oleh para abdi kerajaan yang bekerja di dalam istana.

Misalnya: Punapi jengandika maksih darbe adhi malih, Ndara?

Punapi boya dadi guguping manah, jengandika kula piji mangarsa.

Krama desa merupakan ragam halus orang desa yang kurang memahami ragam halus orang kota (sesuai paugeran unggah-ungguh) sehingga sering kali salah dalam penggonaan kosa kata.

Misalnya: Tiyang ketigen inggih sami nanem palawija wenten dhekeman, gandum, kacang, tela pohung lan senese.

Kirangan mangke yen wenten jawoh.

Sampeyan sampun sanjang tiyang sepahe sampeyan yen ajeng bara teng kitha.

      Kula dipun sanjangi tiyang sepah supados nanem kedhangsul ing pategilan.

 

Basa jawa kasar adalah basa yang paling rendah dalam tingkat tutur. Bahasa  ini merupakan bahasa sehari-hari orang yang tidak berpendidikan, tidak punya sopan santun sama sekali, orang yang sedang  marah, atau orang yang meremehkan orang lain. Orang yang sedang marah biasanya lupa atau tidak mengenal unggah-ungguh yang harus ditaati dalam berinteraksi dengan orang.

Misalnya: Kowe minggata kana, nyepeti mata!

            Budheg kupingmu ya, diceluk meneng wae!

Chaer (1995: 52) mengemukakan variasi bahasa, dalam hal ini ragam bahasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dalam bahasa Jawa dengan istilah undha usuk. Dengan adanya tingkat-tingkat bahasa yang disebut undha usuk ini penutur masyarakat tutur bahasa Jawa harus mengetahui lebih dahulu kedudukan tingkat sosial mitra bicaranya. Sehubungan dengan unda usuk ini bahasa Jawa terbagi dua, yaitu krama untuk tingkat tinggi dan ngoko untuk tingkat rendah. Namun, di antara keduanya masih terdapat tingkat-tingkat antara.

Uhlenbeck (dalam Chaer 1995: 52-53) membagi tingkat variasi bahasa Jawa menjadi tiga, yaitu krama, madya, dan ngoko. Kemudian masing-masing dirinci lagi menjadi mudha krama, kramantara, dan wredha krama, madya ngoko, madyantara, dan madya krama; ngoko sopan dan ngoko andhap.

Clifford Geertz (dalam Chaer 1995: 53) membagi menjadi dua bagian pokok, yaitu krama dan ngoko. Krama dirinci menjadi krama inggil, krama biasa dan krama madya; sedangkan ngoko dirinci lagi menjadi ngoko madya, ngoko biasa, dan ngoko sae.

Pada zaman sekarang yang sering dipakai oleh masyarakat dalam bergaul hanya ada empat macam, yaitu basa ngoko yang dibagi menjadi basa ngoko lugu dan basa ngoko alus (andhap), dan basa krama yang dibagi menjadi basa krama lugu dan basa krama inggil (Abikusno 1994: 28).

Ekowardono (1993) mengelompokkan unggah ungguh menjadi dua, yaitu ngoko dan krama. Jika unggah ungguh ditambah krama inggil, unggah ungguh tersebut akan berubah menjadi krama alus. Tanpa pemunculan krama inggil, unggah ungguh itu hanya berupa ngoko lugu  atau  krama lugu.

Unggah ungguh Bahasa Jawa menurut Sudaryanto (1989) atau Ekowardono (1993) dapat dilihat dalam bagan berikut ini.

 

            Tingkat Tutur

 





Ngoko                           Krama

 

Ngoko           Ngoko Alus            Krama          Krama Alus

(Ngoko Lugu)                          (Krama Lugu)

 

Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing ragam bahasa Jawa tersebut.

a.         Ngoko Lugu

Tingkat tutur kata ngoko lugu adalah tingkat tutur yang semua kosa katanya berbentuk ngoko (Sasangka 1994: 46). Ciri-ciri dari basa ngoko ini adalah kata-katanya ngoko semua, awalan dan akhiran ngoko. Ragam ngoko ini digunakan oleh orang tua kepada anaknya, orang tua kepada orang muda, seorang guru kepada muridnya, orang yang berbicara kepada dirinya sendiri, anak kepada temannya, majikan kepada pembantunya (Abikusno 1994: 28-29).

Misalnya: Siti arep tuku buku ing toko buku.

                 Bagus mangan sega pecel.

b.         Ngoko Alus

Tingkat tutur ini kosa katanya terdiri atas kata-kata ngoko, krama inggil, krama andhap, dan krama (Sasangka 1994: 48). Krama inggil dan krama yang muncul pada tingkat tutur ini hanya digunakan untuk penghormatan kepada lawan bicara, sedangkan untuk diri sendiri digunakan bentuk ngoko dan krama andhap.

Ciri-ciri dari basa ngoko alus ini adalah kata-katanya ngoko dan krama inggil, awalan dan akhiran tidak di-krama-kan, dan kata kowe menjadi sliramu atau panjenengan. Basa ngoko alus ini digunakan oleh orang tua kepada orang muda yang perlu dihormati, orang muda kepada orang yang lebih tua karena menghormati (Abikusno 1994: 29).

Misalnya: Bapak arep mundhut apa ta kok tindak toko buku?

                 Unjukane wis diunjuk apa durung, Pak?

c          Krama Lugu

Tingkat tutur krama lugu kosa katanya terdiri atas kata-kata krama, madya, dan ngoko. Tingkat tutur ini adalah tingkat tutur yang kadar kehalusannya rendah, tetapi bila dibandingkan dengan tingkat tutur ngoko alus, tingkat tutur krama ini lebih halus (Sasangka 1994: 53).

Ciri-ciri dari tingkat tutur krama lugu ini adalah kata-katanya krama semua, awalan dan akhiran di-krama-kan, kata aku menjadi kula, dan kata kowe menjadi sampeyan. Tingkat tutur krama lugu ini digunakan oleh sesama teman yang belum akrab, orang tua kepada orang muda yang belum akrab, dan orang yang baru dikenal (Abikusno 1994: 30).

Misalnya: Sampeyan ajeng kesah teng pundi kok mbekta ember?

                 Kula sampun ningali mendanipun Danung teng kandhang.

 

d.         Krama Alus

Tingkat tutur ini kosa katanya terdiri atas kata-kata krama, krama inggil, dan krama andhap. Yang menjadi leksikon inti hanyalah yang berbentuk krama (Sasangka 1994: 56).

Ciri-ciri dari tingkat tutur ini adalah kata-katanya krama dan krama inggil, awalan dan akhiran di-krama-kan, dan kata aku menjadi kula, kawula, dalem, dan kata kowe menjadi panjenengan. Tingkat tutur ini digunakan oleh murid kepada gurunya, anak kepada orang tuanya, orang muda kepada orang tua karena menghormati, bawahan kepada pimpinannya, dan pembantu kepada majikannya (Abikusno  1994: 30-31).

Misalnya: Kula sampun matur Bapak bilih benjing minggu ngajeng Pak Bupati badhe rawuh ing sekolahan kula.

                Pak Guru nembe kemawon rawuh, lajeng tindak malih.

Sejalan dengan Abikusno, Sudaryanto (1989: 103)  membagi tingkat tutur menjadi empat yaitu: ( a ) ngoko; ( b )  ngoko alus; ( c )  krama; ( d )  krama alus. Perbedaanya hanya terdapat pada ngoko lugu dan krama lugu, sedangkan Sudaryanto menyebut ngoko dan krama saja. Jadi, pada prinsipnya bahasa Jawa memiliki sistem tatanan yang kita kenal dengan ngoko dan krama. Penggunaan bahasa Jawa, khususnya ragam krama dalam komunikasi dengan orang tua akan lebih santun dibandingkan dengan ragam ngoko. Oleh karena itu, ragam krama itu merupakan bentuk atau ragam alus yang berhubungan dengan pemakaian kata-kata yang khusus untuk memperhalus tuturan itu. Hal ini merupakan ciri ketakziman, penghormatan, dan pengagungan dalam bahasa Jawa.

Pemilihan bentuk unggah-ungguh dan pemilihan kosa kata (ngoko, krama, krama inggil/andhap) berhubungan erat dengan faktor situasi dan faktor sosial. Faktor situasi misalnya situasi resmi (formal) dan tidak resmi (nonformal). Faktor sosial meliputi jenis kelamin, umur, hubungan kekeluargaan, jabatan, pendidikan, pendapatan, tempat, waktu, topik, tujuan, dan tingkat keakraban. Misalnya, jika penutur dan mitra tutur status sosialnya sejajar dan akrab maka ada dua kemungkinan, yaitu ngoko lugu- ngoko lugu atau ngoko alus-ngoko alus. Misalnya yang ngoko lugu: Arep menyang endi? Menyang pasar, kokterke ta? Contoh ngoko alus :Kapan rawuh kok wis neng dalem? Mau bengi. Lho, arep tindak ngendi kok wis rapi?

Peristiwa tuturan dalam situasi formal atau resmi, hubungan sejajar-tidak sejajar dalam status sosial atau akrab-tidak akrab dianggap tidak penting lagi atau menjadi kabur sebab penutur maupun mitra tutur cenderung menggunakan bentuk krama alus, misalnya dalam pembacaan berita di radio/tv, upacara perkawinan (serah terima pengantin pria, ucapan selamat datang), rapat desa/kecamatan, atau penyuluhan oleh pejabat setempat kepada masyarakat.

Pada hakikatnya tugas guru adalah mengembangkan kompetensi yang dimiliki siswa. Dengan proses pembelajaran, kompetensi yang ada pada peserta didik diharapkan dapat berkembang seoptimal mungkin. Adapun cara untuk mengembangkan kompetensi unggauh-ungguh bahasa Jawa antara lain dengan pengembangan materi pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan keterampilan proses. Oleh karena itu, agar anak bisa berkomunikasi praktis berbahasa Jawa yang laras dan leres sesuai dengan unggah-ungguh harus dikembangkan materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan jiwa anak dan penggunaan model pembelajaran yang dapat membangkitkan minat belajar siswa.

Adapun contoh pengembangan materi pembelajaran unggah-ungguh bahasa untuk siswa SD antara lain seperti di bawah ini.

 

Kelas I/1

Kompetensi Inti

Kompetensi Dasar

Pengembangan Materi

Pengetahuan

 

3.  Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah.

 

 

 

3.1 Mengenal bunyi bahasa melalui nama-nama benda  sekitar

 

 

Pengenalan huruf dan kata dengan menampilkan benda-benda atau binatang di sekitar.

Misalnya:  mengeja/membaca dan menulis kosa kata atau teks sederhana berkaitan dengan benda-benda atau binatang di sekitar kita.

Contoh:

- nama binatang dalam kosa kata ngoko dan krama (Pitik Jago, babon,  manuk, wedhus, sapi, kebo, lsp).

- nama benda (kembang, pari, gabah, klambi, lsp).

- teks bacaan sederhana: (ngingu pitik, nandur pari, nandur kembang, lsp).

Keterampilan

 

4.    Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak

     beriman dan berakhlak    

     mulia

 

 

4.1 Mengeja dan menulis huruf, suku kata, dan kata melalui nama-nama benda sekitar

 

 

Kelas I/2

Kompetensi Inti

Kompetensi Dasar

Pengembangan Materi

Pengetahuan

 

3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah.

 

 

 

3.3  Mengenal nama anggota tubuh dalam ragam ngoko dan krama

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengenalan kosa kata nama anggota tubuh dalam ragam ngoko krama, dan krama inggil dengan menampilkan gambar atau teks sederhana.

Misalnya: 

- arane perangane awak: mbun-mbunan, rambut, sirah, bathuk, alis, idep, tlapukan, idep, mripat, lsp beserta kosa kata krma dan krama inggil

-arane tumindak/pakaryane perangane awak ragam ngoko, krama, dan krama inggil.

Contoh:

- mripat kanggo ndeleng- ningali- mirsani

- mripat kanggo maca- maca- maos.

- cangkem/lesan kanggo mangan- nedha- dhahar

- cangkem/lesan kanggo ngomong -  wicanten- matur/ngendika, lsp

 

 

Keterampilan

 

4.   Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak

       beriman dan berakhlak

       mulia

 

 

 

4.3. Menulis nama-nama anggota tubuh dalam ragam ngoko dan krama.

 

 

Kelas IV/1

 

Kompetensi Inti

Kompetensi Dasar

Pengembangan Materi

Pengetahuan

 

3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah.

 

3.2 Memahami cerita wayang tentang tokoh Yudhistira

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengenalan tokoh wayang Pandawa, Yudhistira dalam teks beragam ngoko atau ngoko alus.

Misalnya: 

- Teks bacaan “Raden Yudhistira.” Teks bacaan beragam ngoko alus, ngoko kecampuran krama inggil.

Contoh:

- Raden Yudhistira iku putrane Prabu Pandhu Dewanata karo Dewi Kunthi.

- Prabu Pandhu Dewanata kagungan garwa loro, yaiku Dewi Kunthi lan Dewi Madrim, lsp.

Siswa diharapkan bisa menceritakan tokoh yudhistira dengan menggunakan ragam krama dengan kosa kata krama atau krama inggil.

Misalnya: (Cerita siswa)

Raden Yudhistira menika putranipun Prabu Pandhu Dewanata ingkang pambajeng/angka setunggal, lsp.

Keterampilan

 

4.    Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak

beriman dan berakhlak mulia

 

 

4.2. Menceritakan karakter tokoh wayang menggunakan ragam krama.

 

 

 

Kelas V/1

Kompetensi Inti

Kompetensi Dasar

Pengembangan Materi

Pengetahuan

 

3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah.

 

3.1 Memahami teks pidato

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Teks pidato yang dibaca dan ditulis siswa adalah teks pidato sederhana yang berkaitan dengan kehidupan siswa, pengalamannya.

Misalnya pidhato ulang tahun dalam ragam krama. Kosa kata krama yang terdapat dalam teks pidato adalah kosa kata krama yang sesuai dengan unggah-ungguh.

Misalnya:

-      Mugi-mugi sedherek kula Mulyono kaparingan umur panjang, boten yuswa panjang

Piyambakipun sampun umur 11 taun, boten Panjenenganipun sampun yuswa 11 taun, lsp.

Keterampilan

 

4.    Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia

 

 

4.1 Membuat dan menyajikan teks pidato sederhana dengan ragam krama.

 

 

Kelas VI/2

Kompetensi Inti

Kompetensi Dasar

Pengembangan Materi

Pengetahuan

 

3. Memahami pengetahuan faktual dan konseptual

dengan cara mengamati dan mencoba (mendengar, melihat, membaca) serta menanya berdasarkan rasa ingin tahu secara kritis tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, sekolah, dan tempat bermain.

Keterampilan

 

4.Menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual

dalam bahasa yang jelas, logis, dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia.

 

 

3.2 Memahami teks percakapan/dialog dengan teman sebaya atau orang tua

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4.2 Menulis dan menyajikan teks percakapan dengan teman sebaya atau orang tua dengan ragam dan intonasi yang tepat

 

 

 

Membaca dan menulis teks pacelathon dan mempraktikannya dengan bermain peran sesuai  teks yang telah ditulisnya dengan ragam yang sesuai dengan unggah-ungguh (krama/krama alus)

Misalnya: teks pacelathon anak dengan orang tua atau gurunya tentang cita-citanya (melanjutkan sekolah yang lebih tinggi), berkenalan dengan orang yang lebih tua, dan sebagainya

 

 

C. Penutup

 

Orang Jawa memiliki sifat (a) andhap asor, (b) tepa selira), (c) empan papan, dan (d) aja dumeh.  Andhap asor tidak berarti rendah diri, tetapi rendah hati. Kata andhap asor sejajar dengan lembah manah. Orang yang bersikap andhap asor tidak mau menonjolkan diri meskipun sebenarnya ia memiliki kemampuan. Orang Jawa sangat mengutamakan sifat andhap asor bila berhubungan dengan orang lain. Dengan sifat inilah dalam bertutur kata dan bersikap selalu berusaha menjaga perasaan agar tidak terjadi konflik dengan cara menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku, empan-papan, situasi dan kondisi sehingga lahirlah unggah-ungguh basa Jawa.

Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah  seharusnya menekankan pentingnya fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Pembelajaran bahasa diarahkan pada belajar berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dengan ragam yang sesuai dengan situasi kondisi dan mitra bicara. Perlu berlatih terus-menerus dengan pembiasaan berunggah-ungguh bahasa Jawa secara praktis, menyenangkan,  sesuai  dengan  kehidupan  sehari-hari,  misalnya bagaimana ia matur dan bersikap ketika berpamitan kepada bapak ibu, ijin keluar kelas karena ada keperluan, dan lain sebagainya.

Adapun pola pemikiran pembelajaran bahasa Jawa secara mikro (jagad cilik) mengacu pada (1) pola pembelajaran bahasa Jawa mengarah pada pembentuk kepribadian dan penguat jati diri masyarakat Jawa yang tercermin pada pocapan, patrap, dan polatan; (2) pembelajaran bahasa Jawa sebagai upaya pengolahan kearifan   budaya lokal   untuk   didayagunakan dalam pembangunan budaya nasional, watak, dan karakter bangsa;   (3) pembelajaran bahasa Jawa sebagai penjaga dan pemelihara kelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa; (4) pembelajaran bahasa Jawa sebagai upaya penyelarasan pemakaian bahasa, sastra, dan aksara Jawa agar sejalan dengan perkembangan bahasa Jawa (nut ing jaman kalakone); (5)  pembelajaran bahasa Jawa sebagai proses pembiasaan penggunaan bahasa Jawa yang laras dan leres dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari di dalam keluarga dan masyarakat sesuai dengan kaidah, etika, dan norma yang berlaku; (6) pembelajaran bahasa Jawa memiliki ciri sebagai pembawa dan pengembang budaya Jawa.

Pembelajaran unggah-ungguh bahasa Jawa pada dasarnya adalah pembelajaran berbicara. Pembelajaran ini sebagai proses pembiasaan penggunaan bahasa Jawa yang laras dan leres dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari di dalam keluarga dan masyarakat sesuai dengan kaidah, etika, dan norma yang berlaku. Pembiasaan penggunaan ragam bahasa Jawa sesuai dengan unggah-ungguh bahasa dilakukan dengan menggunakan ragam ngoko, ngoko alus, krama, maupun krama alus.

Unggah- ungguh bahasa Jawa adalah adat sopan santun, etika, tata susila, dan tata krama berbahasa Jawa. Berdasarkan pengertian tersebut nampak bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa atau sering disebut tingkat tutur atau undha usuk basa tidak hanya terbatas pada tingkat kesopanan bertutur (bahasa Jawa ragam krama dan ngoko) saja, namun di dalamnya juga terdapat konsep sopan santun bertingkah laku atau bersikap.

Dalam Karti Basa terbitan Kementerian PP dan K (1946), secara garis besar unggah-ungguh bahasa Jawa yang disebut undha usuk terdiri atas (1) basa ngoko, (2) basa madya, (3) basa krama, (4) basa krama inggil, (5) basa kedhaton atau bagongan, (6) basa krama desa dan (7) basa kasar. Undha usuk ngoko terdiri atas ngoko lugu dan ngoko andhap. Ngoko andhap dibedakan menjadi dua, yaitu ngoko antyabasa dan basa antya. Undha usuk madya dibedakan menjadi tiga, yaitu madya ngoko, madyantara, dan madya krama. Undha usuk krama dibedakan menjadi tiga, yaitu mudha krama, kramantara, dan wredha krama.  

Sudaryanto (1989: 103)  membagi tingkat tutur menjadi empat yaitu: ( a ) ngoko; ( b )  ngoko alus; ( c )  krama; ( d )  krama alus. Perbedaanya hanya terdapat pada ngoko lugu dan krama lugu, sedangkan Sudaryanto menyebut ngoko dan krama saja. Jadi, pada prinsipnya bahasa Jawa memiliki sistem tatanan yang kita kenal dengan ngoko dan krama. Penggunaan bahasa Jawa, khususnya ragam krama dalam komunikasi dengan orang tua akan lebih santun dibandingkan dengan ragam ngoko. Oleh karena itu, ragam krama itu merupakan bentuk atau ragam alus yang berhubungan dengan pemakaian kata-kata yang khusus untuk memperhalus tuturan itu. Hal ini merupakan ciri ketakziman, penghormatan, dan pengagungan dalam bahasa Jawa.

Pemilihan bentuk unggah-ungguh dan pemilihan kosa kata (ngoko, krama, krama inggil/andhap) berhubungan erat dengan faktor situasi dan faktor sosial. Faktor situasi misalnya situasi resmi (formal) dan tidak resmi (nonformal). Faktor sosial meliputi jenis kelamin, umur, hubungan kekeluargaan, jabatan, pendidikan, pendapatan, tempat, waktu, topik, tujuan, dan tingkat keakraban.

Tugas guru adalah mengembangkan kompetensi yang dimiliki siswa. Dengan proses pembelajaran, kompetensi yang ada pada siswa diharapkan dapat berkembang seoptimal mungkin. Agar kompetensi unggah-ungguh basa yang dimiliki siswa dapat berkembang secara optimal, maka cara yang dilakukan guru adalah mengembangkan materi pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses. Oleh karena itu, agar anak bisa berkomunikasi praktis berbahasa Jawa yang laras dan leres sesuai dengan unggah-ungguh harus dikembangkan materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan jiwa anak dan penggunaan model pembelajaran yang dapat membangkitkan minat belajar siswa.


kumpulan makalah

Makalah Ungguh - Ungguh

  PEMBELAJARAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA DI SEKOLAH DASAR Marnoto     A.     Pendahuluan   Pada dasarnya orang Jawa ingin selal...